Sunday, May 27, 2012

HUKUM ASAL IBADAH ADALAH TERLARANG

Oleh
Syaikh Ali bin Hasan bin Ali Al-Halabi Al-Atsary

Banyak orang yang mencampuradukkan antara ibadah dengan yang lainnya, dimana mereka berupaya membenarkan bid’ah yang dilakukan dengan memnggunakan dalil kaidah, hukum asal dalam segala sesuatu adalah boleh !

Kaidah tersebut adalah kaidah ilmiah yang benar. Tapi penempatannya bukan dalam masalah ibadah. Sesungguhnya kaidah tersebut berkaitan dengan keduniawian dan bentuk-bentuk manfaat yang diciptakan Allah padanya. Bahwa hukum asal dari perkara tersebut adalah halal dan mubah kecuali jika terdapat dalil yang mengharamkan atau melarangnya.

Yusuf Al-Qaradhawi berkata dalam bukunya Al-Halal wal Haram fil Islam (hal.21) setelah menjelaskan sisi yang benar dalam memahami kaidah tersebut. “Demikian itu tidak berlaku dalam ibadah. Sebab ibadah merupakan masalah agama murni yang tidak diambil kecuali dengan cara wahyu. Dan dalam hal ini terdapat hadits, “Barangsiapa yang mebuat hal yang baru dalam urusan (agama) kami ini apa yang bukan darinya, maka dia di tolak”.

Thursday, May 10, 2012

MENGENALI ALLAH DENGAN MENG-IMANI ASMA’ WA SIFAT-NYA

MAKNA TAUHID ASMA’ WA SIFAT DAN MANHAJ SALAF (GOLONGAN AWAL) DI DALAMNYA

Iaitu beriman kepada nama-nama Allah s.w.t. dan sifat-sifat-Nya, sebagaimana yang diterangkan dalam al-Qur’an dan Sunnah Rasul-Nya s.a.w., menurut apa yang layak bagi Allah s.w.t., tanpa ta’wil dan ta’thil, tanpa takyif, dan tamtsil, berdasarkan firman Allah s.w.t.:

لَيْسَ كَمِثْلِهِ شَيْءٌ وَهُوَ السَّمِيعُ الْبَصِيرُ

Tiada sesuatupun yang serupa dengan (ZatNya, sifat-sifatNya, dan pentadbiranNya) dan Dia lah yang Maha Mendengar, lagi Maha Melihat. (asy-Syura 42: 11)

Ta’thil – adalah menghilangkan makna atau sifat Allah.

Takyif - adalah mempersoalkan hakikat asma’ dan sifat Allah dengan bertanya “bagaimana”.

Tamtsil - adalah menyerupakan Allah dengan makhluk-Nya.

Allah menafikan jika ada sesuatu yang menyerupai-Nya, dan Dia menetapkan bahawa Dia adalah Maha Mendengar dan Maha Melihat. Maka Dia diberi nama dan sifat dengan nama dan sifat yang Dia sendiri berikan untuk diri-Nya dan dengan nama dan sifat yang disampaikan oleh Rasul-Nya (melalui hadis). Al-Qur’an dan as-Sunnah dalam hal ini tidak boleh dilanggar, kerana tidak seorangpun yang lebih mengetahui Allah daripada Allah sendiri, dan tidak ada sesudah Allah orang yang lebih mengetahui Allah daripada Rasul-Nya. Maka barangsiapa yang mengingkari nama-nama Allah dan sifat-sifat-Nya atau menamakan Allah dan menyifati-Nya dengan nama-nama dan sifat-sifat makhluk-Nya, menta’wilkannya dari maknanya yang benar (haq), maka dia telah berbicara tentang Allah tanpa ilmu dan berdusta terhadap Allah dan Rasul-Nya.

Allah s.w.t. berfirman:

هَؤُلاءِ قَوْمُنَا اتَّخَذُوا مِنْ دُونِهِ آلِهَةً لَوْلا يَأْتُونَ عَلَيْهِمْ بِسُلْطَانٍ بَيِّنٍ فَمَنْ أَظْلَمُ مِمَّنِ افْتَرَى عَلَى اللَّهِ كَذِبًا

Siapakah yang lebih zalim daripada orang-orang yang mengada-adakan kebohongan terhadap Allah? (al-Kahfi 18: 15)

MANHAJ SALAF (PARA SAHABAT, TABI’IN DAN ULAMA PADA KURUN WAKTU YANG DIUTAMAKAN) DALAM HAL ASMA’ DAN SIFAT ALLAH

Iaitu mengimani dan menetapkannya sebagaimana ia datang tanpa tahrif (mengubah), ta’thil (menafikan), takyif (menanyakan bagaimana) dan tamtsil (menyerupakan), dan hal itu termasuk pengertian beriman kepada Allah.*

* Iman seperti ini juga dianut oleh Syeikh Abdul Qadir al-Jailani (wafat tahun 561 H.), lihat kitabnya “al-Fathur Rabbani wal Faidhur Rahmaniy”, cetakan al-Haramain, hal. 34, 61, 76, dan 303).

Imam Ahmad rahimahullah berkata, Allah tidak boleh disifati kecuali dengan apa yang disifati oleh-Nya untuk Diri-Nya atau apa yang sifatkan melalui Rasul-Nya, serta tidak boleh melampaui al-Qur’an dan al-Hadis. Mazhab (jalan/landasan) salaf menyifati Allah dengan apa yang Dia sifatkan untuk Diri-Nya dan dengan apa yang disifatkan melalui Rasul-Nya, tanpa tahrif dan ta’thil, takyif dan tamtsil.

Kita mengetahui bahawa apa yang Allah sifatkan untuk Diri-Nya adalah haq (benar), tidak mengandungi teka-teki dan tidak untuk dibongkar. Maknanya sudah dimengerti, sebagaimana maksud orang yang berbicara juga dimengerti dari pembicaraannya. Apalagi jika yang berbicara itu adalah Rasulullah, manusia yang paling mengerti dengan apa yang dia katakan, yang paling fasih dalam menjelaskan ilmu, dan paling baik serta mengerti dalam menjelaskan atau memberi petunjuk. Dan sekali pun demikian, tidaklah ada sesuatu yang menyerupai Allah. Tidak dalam Diri (Dzat)-Nya Yang Maha Suci yang disebut dalam asma’ dan sifat-Nya, juga tidak dalam perbuatan-Nya. Sebagaimana yang kita yakini bahawa Allah s.w.t. mempunyai Dzat, juga ad’al (perbuatan), maka begitu pula Dia benar-benar mempunyai sifat-sifat, tetapi tidak ada satu pun yang menyamai-Nya, juga tidak dalam perbuatan-Nya.

Setiap yang mengharuskan adanya kekurangan dan huduts* maka Allah s.w.t. benar-benar bebas dan Mahasuci dari hal tersebut. Sesungguhnya Allah adalah yang memiliki kesempurnaan yang sempurna, tidak ada batas ayas-Nya. Dan mustahil bagi Diri-Nya mengalami huduts, kerana mustahil bagi-Nya sifat ‘adam (tidak ada); sebab huduts mengharuskan adanya sifat ‘adam sebelumnya, dan kerana sesuatu yang baru pasti memerlukan muhdits (yang mengadakan), juga kerana Allah bersifat wajibul wujud binafsi (wajib ada dengan sendiri-Nya).

* Huduts ertinya baru, yang dahulunya tidak ada kemudian menjadi ada. Huduts adalah lawan kata dari qidam.

Madzhab salaf adalah antara ta’thil dan tamtsil. Mereka tidak menyamakan atau menyerupakan sifat-sifat Allah dengan sifat-sifat makhluk-Nya. Sebagaimana mereka tidak menyerupakan Dzat-Nya dengan dzat pada makhluk-Nya. Mereka tidak menafikan apa yang Allah sifatkan untuk diri-Nya, atau apa yang disifatkan oleh Rasul-Nya. Seandainya mereka menafikan, bererti mereka telah menghilangkan asma’ husna dan sifat-sifat-Nya yang ‘ulya (luhur), dan bererti mengubah kalam dari tempat yang sebenarnya, dan bererti pula mengingkari asma’ allah dan ayat-ayat-Nya. (Lihat Majmu’ Fatawa, 5/26-27)

Friday, May 4, 2012

Penjelasan Ringkas Berkenaan "Sanad" dan Keperluannya.


PERIHAL SANAD

Sanad/isnad merupakan kekhususan umat Islam. Al-Qur'an telah diriwayatkan kepada kita oleh para perawi dengan sanad yang mutawatir. Demikian pula telah sampai kepada kita hadits-hadits Nabi shallallahu 'alaihi wasallam dengan sanad-sanad yang shahih. Berbeda dengan kitab Injil dan Taurat yang ada pada kaum Nashrani dan Yahudi tanpa sanad yang bersambung dan shahih, sehingga sangat diragukan keabsahan kedua kitab tersebut.

Isnad hadits adalah silsilah para perawi yang meriwayatkan matan (sabda) hadits dari Rasulullah shallallahu 'alaihi wa sallam.

Para ahli hadits telah memberikan kriteria yang ketat agar suatu hadits dinilai sebagai hadits yang shahih, mereka ketat dalam menilai para perawi hadits tersebut. Karenanya mereka (para ahli hadits) mendefinisikan hadits shahih dengan definisi berikut :

مَا اتَّصَلَ سَنَدُهُ بِنَقْلِ الْعَدْلِ الضَّابِطِ عَنْ مِثْلِهِ إِلَى مُنْتَهَاهُ مِنْ غَيْرِ شُذُوْذٍ وَلاَ عِلَّةٍ

"Yaitu hadits yang sanadnya bersambung dengan penukilan perawi yang 'adil dan dhoobith (kuat hafalannya) dari yang semisalnya hingga kepuncaknya tanpa adanya syadz dan penyakit ('illah)"

Yaitu para perawinya dari bawah hingga ke atas seluruhnya harus tsiqoh dan memiliki kredibilitas hafalan yang sempurna (lihat Nuzhatun Nadzor hal 58), serta sanad tersebut harus bersambung dan tidak ada 'illahnya (penyakit) yang bisa merusak keshahihan suatu hadits.

Oleh karenanya dari sini nampaklah urgensinya pengecekan kevalidan isnad suatu hadits

Ibnu Siiriin berkata :

لَمْ يَكُوْنُوا يَسْأَلُوْنَ عَنِ الإِسْنَادِ فَلَمَّا وَقَعَتِ الْفِتْنَةُ قَالُوْا : سَمُّوا لَنَا رِجَالَكُمْ فَيُنْظَرُ إِلَى أَهْلِ السُّنَّةِ فَيُؤْخَذُ حَدِيْثُهُمْ وَيُنْظَرُ إِلَى أَهْلِ الْبِدَعِ فَلاَ يُؤْخَذُ حَدِيْثُهُمْ

"Mereka dahulu tidak bertanya tentang isnad, akan tetapi tatkala terjadi fitnah maka mereka berkata : "Sebutkanlah nama-nama para perawi kalian", maka dilihatlah Ahlus sunnah dan diambilah periwayatan hadits mereka dan dilihatlah ahlul bid'ah maka tidak diambil periwayatan hadits mereka"