Tuesday, May 21, 2013
Al-Qur’an Berbicara Tentang Al-Jarh dan At-Ta’dil
(ditulis oleh: Al-Ustadz Abu Karimah Askari bin Jamal Al-Bugisi)
“Hai orang-orang yang beriman, jika datang kepadamu orang fasik membawa suatu berita, maka periksalah dengan teliti, agar kamu tidak menimpakan suatu musibah kepada suatu kaum tanpa mengetahui keadaannya yang menyebabkan kamu menyesal dengan perbuatannya itu.” (Al-Hujurat: 6)
Penjelasan Ayat
Asy-Syaikh As-Sa’di t berkata: “(Ayat ini) termasuk adab yang sepantasnya diamalkan bagi orang yang berakal. Yakni apabila ada seorang yang fasiq mengabarkan suatu berita agar mengecek (kebenaran) beritanya (terlebih dahulu), jangan begitu saja mengambilnya. Sebab yang demikian ini bisa menyebabkan bahaya besar dan menjatuhkan ke dalam dosa. Karena apabila beritanya disejajarkan dengan kedudukan berita seorang yang adil dan jujur, lalu menghukuminya berdasarkan konsekuensi (riwayat seorang adil), maka akan terjadi kerugian jiwa dan harta tanpa hak dengan sebab berita tersebut sehingga menyebabkan penyesalan. Yang wajib dalam menyikapi berita seorang yang fasiq adalah meneliti dan mencari kejelasan. Apabila ada penguat yang menunjukkan kebenarannya, maka diamalkan dan dibenarkan. Dan apabila (ada penguat) yang menunjukkan kedustaan, maka didustakan dan tidak diamalkan. Maka di dalamnya terdapat dalil tentang diterimanya berita seorang yang jujur dan berita pendusta adalah tertolak, sedangkan berita seorang yang fasiq disikapi tawaqquf (abstain) sebagaimana yang telah kita jelaskan. Oleh karenanya, para ulama salaf menerima banyak riwayat dari Khawarij yang dikenal kejujurannya, walaupun mereka termasuk orang-orang yang fasiq.” (Taisir Al-Karim Ar-Rahman hal. 800)
Penjelasan Al-’Allamah Abdurrahman As-Sa’di t tersebut di atas menerangkan bahwa ayat yang mulia ini merupakan salah satu hujjah disyariatkannya ilmu al-jarh wat-ta’dil. Al-jarh () artinya mencela/mencacat, yaitu mencela seorang perawi/ pembawa berita dikarenakan adanya salah satu faktor yang menyebabkan tertolaknya suatu riwayat pada diri perawi tersebut. Sedangkan at-ta’dil () artinya memuji atau menyatakan keadilan seorang perawi karena adanya faktor-faktor yang menunjukkan keadilannya dan tidak terdapatnya sesuatu yang menjadikan dia layak dicela.
Oleh karenanya, Asy-Syaikh Abdurrahman bin Yahya Al-Mu’allimi menjadikan ayat ini sebagai dalil bahwa yang pertama kali berbicara tentang al-jarh wat-ta’dil adalah Al Qur‘an Al-Karim. (Ahwal Arijaal, Al-Mu’allimi hal. 17, tahqiq ‘Ali Hasan)
Ibnu Katsir rahimahullah berkata: “Allah subhanahu wa taa'la memerintahkan untuk tatsabbut (mengecek) atas berita seorang yang fasiq agar berhati-hati, sehingga dia tidak memberi hukum berdasarkan perkataannya. Sehingga di saat itu dia (si fasiq) berdusta ataukah keliru, maka seorang hakim pun berpegang dengan ucapannya dan mengikuti jejaknya. Sungguh Allah subhanahu wa taa'la melarang dari mengikuti jalan orang-orang yang merusak.” (Tafsir Ibnu Katsir, 4/209)
Demikian pula yang dijelaskan oleh Al-Imam Muslim rahimahullah : “Ketahuilah, semoga Allah memberi taufik kepadamu, bahwa sesungguhnya wajib bagi setiap orang untuk mengetahui (perbedaan) antara riwayat-riwayat yang shahih dan yang berpenyakit, antara perawi yang dipercaya penukilannya dengan perawi yang tertuduh (berdusta). Jangan pula dia meriwayatkan kecuali yang dia ketahui keshahihan makhraj (tempat keluar haditsnya) dan terjaga penukilannya. Dan dia berhati-hati terhadap (riwayat) yang dinukil dari orang yang tertuduh dan penentang dari kalangan ahli bid’ah.”
Lalu beliau menyebutkan dalil atas apa yang beliau sebutkan, di antaranya ayat yang menjadi pembahasan kita, dan di antaranya pula firman-Nya:
“Dari saksi-saksi yang kamu ridhai.” (Al-Baqarah: 282)
Dan firman-Nya:
“Dan persaksikanlah dengan dua orang saksi yang adil di antara kamu.” (At-Thalaq: 2)
Lalu beliau berkata: “Maka ayat-ayat ini menunjukkan apa yang kami sebutkan bahwa kabar seorang yang fasiq gugur dan tidak diterima, dan tertolaknya persaksian orang yang tidak adil.”
Lalu beliau pun berdalil dengan hadits Rasulullah shallallahu a'laihi wa sallam bahwa beliau bersabda:
“Barangsiapa memberitakan dariku satu hadits, dan dia menyangka bahwa itu dusta, maka dia termasuk salah satu dari para pendusta.” (Lihat Muqaddimah Shahih Muslim, 1/8-9)
Manhaj Salaf dalam Al-Jarh wat-Ta’dil
Di zaman para shahabat Nabi shallallahu a'laihi wa sallam , zaman terbaik umat ini, tidak dikenal seseorang yang berani mendustakan suatu hadits kemudian mengatasnamakan Rasulullah shallallahu a'laihi wa sallam . Hal ini karena mereka adalah orang-orang yang dikenal akan keadilannya dan kejujuran dalam periwayatannya. Ketika seorang shahabat Nabi memberitakan hadits kepada shahabat yang lainnya, mereka langsung menerimanya tanpa ragu, sebagaimana yang dikatakan oleh Al-Bara‘ bin Azib radiallahu 'anhu:
“Tidak semua apa yang kami beritakan kepada kalian dari Rasulullah shallallahu a'laihi wa sallam kami dengarkan langsung, di antaranya ada yang kami dengarkan langsung dan di antaranya ada yang diberitakan oleh para shahabat kami, dan kami tidaklah berdusta.” (HR. Ibnu Adi dalam Al-Kamil 1/50, dan juga Al-Hakim dalam Ma’rifat Ulumil Hadits, 14, dengan lafadz yang berbeda)
Oleh karenanya terkadang kita mendapati seorang shahabat memberitakan suatu hadits atau suatu kisah yang beliau tidak hadir secara langsung dalam kisah tersebut. Ini disebabkan mereka meriwayatkannya secara mursal, yang dikenal dengan istilah mursal shahabi, dan para ulama bersepakat tentang kehujjahannya.
Dan ketika muncul berbagai macam fitnah kesesatan dan bid’ah di kalangan umat ini, baik Khawarij, Syi’ah, Qadariyyah, Mu’tazilah, dan yang lainnya, mulailah bermunculan beberapa perawi yang dituduh melakukan kedustaan terhadap suatu hadits dan mengatasnamakan Rasulullah shallallahu a'laihi wa sallam , dengan berbagai macam tujuan dan kehendak.
Al-Imam Muslim rahimahullah telah meriwayatkan dengan sanadnya dalam muqaddimah Shahih-nya (1/13) dari Mujahid bin Jabr berkata: Busyair Al-Adawi datang kepada Ibnu ‘Abbas, lalu mulailah dia membaca hadits dan berkata: “Rasulullah shallallahu a'laihi wa sallam bersabda , Rasulullah shallallahu a'laihi wa sallam bersabda .” Maka Ibnu ‘Abbas pun tidak mendengarkan haditsnya dan tidak memperhatikannya. Maka Busyair berkata: “Wahai Ibnu ‘Abbas, mengapa aku melihatmu tidak mendengarkan haditsku? Aku memberitakanmu hadits dari Rasulullah shallallahu a'laihi wa sallam dan engkau tidak mendengarkannya.” Maka Ibnu ‘Abbas menjawab: “Sesungguhnya dahulu apabila kami mendengar seseorang berkata: Rasulullah shallallahu a'laihi wa sallam bersabda, maka pandangan kami tertuju padanya dan kami menyimaknya dengan telinga kami. Namun ketika manusia menunggangi yang sulit atau yang mudah (yakni semaunya dalam menyampaikan hadits, baik dengan cara yang baik atau yang jelek -ed), maka kami pun tidak mengambil (hadits) dari manusia kecuali dari yang kami kenal.”
Demikian pula yang disebutkan oleh Ibnu Sirin rahimahullah : “Dahulu (zaman Rasulullah shallallahu a'laihi wa sallam , pen) mereka tidak menanyakan tentang sanad. Namun ketika terjadi fitnah, maka mereka mengatakan: ‘Sebutkanlah kepada kami para perawi kalian.’ Maka dilihat kepada Ahlus Sunnah lalu diambil haditsnya, dan dilihat kepada ahli bid’ah lalu tidak diambil haditsnya.” (Riwayat Muslim dalam Muqaddimah Shahih-nya, 15)
Ketika mulai bermunculan hadits-hadits palsu yang tersebar di kalangan kaum muslimin yang berasal dari para pendusta hadits, maka mulailah dilakukan penelitian terhadap keadaan setiap hadits para perawi untuk melakukan tamhish (penjernihan) berbagai riwayat yang dinisbatkan kepada Rasulullah shallallahu a'laihi wa sallam .
Allah subhanahu wa taa'la telah menjamin terpeliharanya Al Qur`an dan As Sunnah dengan firman-Nya:
“Sesungguhnya Kami-lah yang menurunkan Al Qur’an, dan sesungguhnya Kami benar-benar memeliharanya.” (Al-Hijr: 9)
Sebagian orang mengadu kepada Abdullah bin Al-Mubarak rahimahullah tentang tersebarnya hadits-hadits palsu, maka beliau menjawab: “Para cendekia hadits yang akan menghadapinya.”(Diriwayatkan oleh Al-Khathib dalam Al-Kifayah, 36-37)
Maka bermunculanlah para pembela As Sunnah yang rela menghabiskan seluruh umur mereka demi memelihara Sunnah Rasulullah r. Di antara mereka adalah Abdurrahman bin Mahdi, Syu’bah bin Al-Hajjaj, Yahya bin Ma’in, Ahmad bin Hambal, Abu Hatim Ar-Razi, Abu Zur’ah Ar-Razi, Al-Bukhari, Muslim, Sufyan bin Sa’id Ats-Tsauri, Malik bin Anas, Abdullah bin Al-Mubarak, dan para imam lainnya rahimahumullah yang terkenal sebagai para tokoh dalam bidang al-jarh wat ta’dil.
Dalam meneliti keadaan para perawi hadits tersebut, mereka mempunyai berbagai cara dalam mengetahui ke-tsiqah-an atau kelemahan seorang rawi, yang secara garis besar terbagi menjadi dua bagian:
Pertama: Mereka semasa dengan para perawi tersebut, sehingga memungkinkan bagi mereka untuk melakukan pengetesan (ikhtibar) terhadap para perawi tersebut. Di antara cara ikhtibar tersebut adalah:
1. Memperhatikan keadaan perawi, istiqamahnya dalam ketakwaan, menjauhi kemaksiatan, serta bertanya kepada orang-orang yang mengenalnya dengan baik. Hasan bin Shalih berkata: “Adalah kami apabila hendak menulis hadits dari seorang perawi, kami pun bertanya (kepada yang mengenalnya) tentangnya, sehingga dikatakan kepada kami: Apakah kalian hendak menikahkannya?”(Al-Kifayah, 93)
2. Apabila seorang perawi meriwayatkan hadits dari seorang syaikh yang masih hidup, maka ditanyakan kepada syaikh yang masih hidup tersebut. Seperti apa yang diriwayatkan dari Syu’bah bin Al-Hajjaj bahwa dia berkata: Al-Hasan bin Umarah berkata: Al-Hakam telah memberitakan kepadaku dari Yahya bin Al-Jazzar dari ‘Ali sebanyak tujuh hadits.” Lalu aku (Syu’bah) bertanya langsung kepada Al-Hakam tentang riwayat itu, beliau menjawab: Aku tidak pernah mendengarnya sedikitpun.” (Tarikh Baghdad, Al-Khatib, 7/347)
Dan diriwayatkan oleh Ar-Ramahurmuzi dengan sanadnya dari Abu Dawud Ath-Thayalisi berkata: Syu’bah berkata: “Datangilah Jarir bin Hazim dan katakan padanya: Tidak halal bagimu meriwayatkan hadits dari Al-Hasan bin Umarah, karena dia berdusta.” Lalu aku bertanya kepada Syu’bah: “Apa tanda (kedustaannya)?” Beliau menjawab: “Dia meriwayatkan dari Al-Hakam sesuatu yang kami tidak mendapati asalnya.” (Dirasaat Fil Jarh Wat-Ta’dil, Al-A’zhami, 27)
Termasuk pula dalam hal ini adalah apa yang diriwayatkan oleh Al-Khatib Al-Baghdadi rahimahullah dari jalan Muammal bin Isma’il, dia berkata: Seorang syaikh telah memberitakan kepadaku hadits Ubay bin Ka’ab yang panjang tentang berbagai keutamaan Al Qur‘an, lalu aku berkata kepadanya: “Siapa yang memberitakan kepadamu?” Dia menjawab: “Seseorang di Mada`in dan dia masih hidup.” Maka akupun berangkat ke orang tersebut. Lalu aku bertanya kepadanya: “Siapa yang memberitakanmu?” Dia menjawab: “Telah memberitakan kepadaku seorang syaikh di Wasith dan dia pun masih hidup.” Lalu akupun berangkat menuju tempatnya. Lalu (setelah bertemu) dia berkata: “Telah memberitakan kepadaku seorang syaikh di Bashrah, dan dia pun masih hidup, lalu aku pun pergi menuju kepadanya. (Setelah bertemu) dia berkata: Telah memberitakan kepadaku seorang syaikh di Abbadan. Lalu akupun pergi menuju kepadanya.(Lalu aku bertanya kepadanya), maka diapun mengambil tanganku, lalu membawaku masuk ke sebuah rumah, yang ternyata di dalamnya terdapat kaum tasawwuf yang terdapat seorang syaikh bersama mereka. (Orang yang membawaku itu) berkata: “Syaikh inilah yang memberitakan kepadaku.” Lalu akupun bertanya kepadanya: “Wahai syaikh, siapakah yang memberitakannya kepadamu?” Diapun menjawab: “Tidak seorang pun yang memberitakan hadits ini kepadaku, akan tetapi ketika kami melihat manusia telah berpaling dari Al Qur‘an maka kami pun memalsukan hadits ini untuk mereka agar mengembalikan hati mereka kepada Al Qur‘an.” (Lihat An-Nukat ‘Ala Ibnish Shalah, Al-Hafidz, tahqiq Asy-Syaikh Rabi’ hafizhahullah, 2/862)
3. Apabila seorang perawi memberitakan hadits dari seorang syaikh yang telah meninggal, maka perawi tersebut ditanya: “Kapan engkau lahir? Kapan engkau bertemu syaikh tersebut? Di mana engkau menemuinya?”
Seperti apa yang diriwayatkan dari ‘Ufair bin Ma’dan bahwa Umar bin Musa memberitakan hadits dari Khalid bin Ma’dan. Maka ‘Ufair bertanya: “Tahun berapa engkau bertemu dengannya?” Dia menjawab: “Tahun 158 H, pada peperangan Armenia.” Aku pun berkata: “Takutlah kamu kepada Allah, wahai syaikh, jangan engkau berdusta. Khalid telah meninggal pada tahun 154 H, ditambah lagi bahwa beliau tidak pernah hadir dalam perang Armenia.” (Lisan Al-Mizan, Al-Hafidz, 4/380)
Dan masih banyak lagi cara mereka melakukan pengetesan terhadap kebenaran riwayat seorang perawi. (Lihat ‘Ilmu Ar-Rijaal Wa Ahammiyyatuhu, Abdurrahman bin Yahya Al-Mu’allimi)
Kedua: apabila mereka tidak semasa dengan perawi yang ingin diketahui keadaan riwayatnya, maka dengan cara sabrul ahaadiits (pengecekan satu persatu riwayat perawi tersebut). Jika perawi tersebut banyak meriwayatkan hadits dan jarang terjadi kesalahan dalam riwayatnya, maka dia disifati sebagai seorang hafidz. Jika memiliki sedikit kesalahan dibanding sekian banyak riwayatnya, maka haditsnya berada di antara tingkatan shahih hingga hasan. Jika banyak terjadi kesalahan pada riwayatnya dan fatal kesalahannya, hanya saja tidak sampai kepada tingkat ditinggalkan haditsnya, maka yang demikian derajatnya dha’if atau lemah. Dan apabila kesalahan lebih mendominasi haditsnya, maka orang yang demikian ditinggalkan haditsnya. (Lihat Ittihaful Hafazhah, Al-Baidhani, 11-12)
Adapun perincian dalam permasalahan ini, silahkan merujuk kepada kitab-kitab yang membahas khusus tentang al-jarh wat-ta’dil.
Wallahul muwaffiq.
--------------
Sumber: http://asysyariah.com/
“Hai orang-orang yang beriman, jika datang kepadamu orang fasik membawa suatu berita, maka periksalah dengan teliti, agar kamu tidak menimpakan suatu musibah kepada suatu kaum tanpa mengetahui keadaannya yang menyebabkan kamu menyesal dengan perbuatannya itu.” (Al-Hujurat: 6)
Penjelasan Ayat
Asy-Syaikh As-Sa’di t berkata: “(Ayat ini) termasuk adab yang sepantasnya diamalkan bagi orang yang berakal. Yakni apabila ada seorang yang fasiq mengabarkan suatu berita agar mengecek (kebenaran) beritanya (terlebih dahulu), jangan begitu saja mengambilnya. Sebab yang demikian ini bisa menyebabkan bahaya besar dan menjatuhkan ke dalam dosa. Karena apabila beritanya disejajarkan dengan kedudukan berita seorang yang adil dan jujur, lalu menghukuminya berdasarkan konsekuensi (riwayat seorang adil), maka akan terjadi kerugian jiwa dan harta tanpa hak dengan sebab berita tersebut sehingga menyebabkan penyesalan. Yang wajib dalam menyikapi berita seorang yang fasiq adalah meneliti dan mencari kejelasan. Apabila ada penguat yang menunjukkan kebenarannya, maka diamalkan dan dibenarkan. Dan apabila (ada penguat) yang menunjukkan kedustaan, maka didustakan dan tidak diamalkan. Maka di dalamnya terdapat dalil tentang diterimanya berita seorang yang jujur dan berita pendusta adalah tertolak, sedangkan berita seorang yang fasiq disikapi tawaqquf (abstain) sebagaimana yang telah kita jelaskan. Oleh karenanya, para ulama salaf menerima banyak riwayat dari Khawarij yang dikenal kejujurannya, walaupun mereka termasuk orang-orang yang fasiq.” (Taisir Al-Karim Ar-Rahman hal. 800)
Penjelasan Al-’Allamah Abdurrahman As-Sa’di t tersebut di atas menerangkan bahwa ayat yang mulia ini merupakan salah satu hujjah disyariatkannya ilmu al-jarh wat-ta’dil. Al-jarh () artinya mencela/mencacat, yaitu mencela seorang perawi/ pembawa berita dikarenakan adanya salah satu faktor yang menyebabkan tertolaknya suatu riwayat pada diri perawi tersebut. Sedangkan at-ta’dil () artinya memuji atau menyatakan keadilan seorang perawi karena adanya faktor-faktor yang menunjukkan keadilannya dan tidak terdapatnya sesuatu yang menjadikan dia layak dicela.
Oleh karenanya, Asy-Syaikh Abdurrahman bin Yahya Al-Mu’allimi menjadikan ayat ini sebagai dalil bahwa yang pertama kali berbicara tentang al-jarh wat-ta’dil adalah Al Qur‘an Al-Karim. (Ahwal Arijaal, Al-Mu’allimi hal. 17, tahqiq ‘Ali Hasan)
Ibnu Katsir rahimahullah berkata: “Allah subhanahu wa taa'la memerintahkan untuk tatsabbut (mengecek) atas berita seorang yang fasiq agar berhati-hati, sehingga dia tidak memberi hukum berdasarkan perkataannya. Sehingga di saat itu dia (si fasiq) berdusta ataukah keliru, maka seorang hakim pun berpegang dengan ucapannya dan mengikuti jejaknya. Sungguh Allah subhanahu wa taa'la melarang dari mengikuti jalan orang-orang yang merusak.” (Tafsir Ibnu Katsir, 4/209)
Demikian pula yang dijelaskan oleh Al-Imam Muslim rahimahullah : “Ketahuilah, semoga Allah memberi taufik kepadamu, bahwa sesungguhnya wajib bagi setiap orang untuk mengetahui (perbedaan) antara riwayat-riwayat yang shahih dan yang berpenyakit, antara perawi yang dipercaya penukilannya dengan perawi yang tertuduh (berdusta). Jangan pula dia meriwayatkan kecuali yang dia ketahui keshahihan makhraj (tempat keluar haditsnya) dan terjaga penukilannya. Dan dia berhati-hati terhadap (riwayat) yang dinukil dari orang yang tertuduh dan penentang dari kalangan ahli bid’ah.”
Lalu beliau menyebutkan dalil atas apa yang beliau sebutkan, di antaranya ayat yang menjadi pembahasan kita, dan di antaranya pula firman-Nya:
“Dari saksi-saksi yang kamu ridhai.” (Al-Baqarah: 282)
Dan firman-Nya:
“Dan persaksikanlah dengan dua orang saksi yang adil di antara kamu.” (At-Thalaq: 2)
Lalu beliau berkata: “Maka ayat-ayat ini menunjukkan apa yang kami sebutkan bahwa kabar seorang yang fasiq gugur dan tidak diterima, dan tertolaknya persaksian orang yang tidak adil.”
Lalu beliau pun berdalil dengan hadits Rasulullah shallallahu a'laihi wa sallam bahwa beliau bersabda:
“Barangsiapa memberitakan dariku satu hadits, dan dia menyangka bahwa itu dusta, maka dia termasuk salah satu dari para pendusta.” (Lihat Muqaddimah Shahih Muslim, 1/8-9)
Manhaj Salaf dalam Al-Jarh wat-Ta’dil
Di zaman para shahabat Nabi shallallahu a'laihi wa sallam , zaman terbaik umat ini, tidak dikenal seseorang yang berani mendustakan suatu hadits kemudian mengatasnamakan Rasulullah shallallahu a'laihi wa sallam . Hal ini karena mereka adalah orang-orang yang dikenal akan keadilannya dan kejujuran dalam periwayatannya. Ketika seorang shahabat Nabi memberitakan hadits kepada shahabat yang lainnya, mereka langsung menerimanya tanpa ragu, sebagaimana yang dikatakan oleh Al-Bara‘ bin Azib radiallahu 'anhu:
“Tidak semua apa yang kami beritakan kepada kalian dari Rasulullah shallallahu a'laihi wa sallam kami dengarkan langsung, di antaranya ada yang kami dengarkan langsung dan di antaranya ada yang diberitakan oleh para shahabat kami, dan kami tidaklah berdusta.” (HR. Ibnu Adi dalam Al-Kamil 1/50, dan juga Al-Hakim dalam Ma’rifat Ulumil Hadits, 14, dengan lafadz yang berbeda)
Oleh karenanya terkadang kita mendapati seorang shahabat memberitakan suatu hadits atau suatu kisah yang beliau tidak hadir secara langsung dalam kisah tersebut. Ini disebabkan mereka meriwayatkannya secara mursal, yang dikenal dengan istilah mursal shahabi, dan para ulama bersepakat tentang kehujjahannya.
Dan ketika muncul berbagai macam fitnah kesesatan dan bid’ah di kalangan umat ini, baik Khawarij, Syi’ah, Qadariyyah, Mu’tazilah, dan yang lainnya, mulailah bermunculan beberapa perawi yang dituduh melakukan kedustaan terhadap suatu hadits dan mengatasnamakan Rasulullah shallallahu a'laihi wa sallam , dengan berbagai macam tujuan dan kehendak.
Al-Imam Muslim rahimahullah telah meriwayatkan dengan sanadnya dalam muqaddimah Shahih-nya (1/13) dari Mujahid bin Jabr berkata: Busyair Al-Adawi datang kepada Ibnu ‘Abbas, lalu mulailah dia membaca hadits dan berkata: “Rasulullah shallallahu a'laihi wa sallam bersabda , Rasulullah shallallahu a'laihi wa sallam bersabda .” Maka Ibnu ‘Abbas pun tidak mendengarkan haditsnya dan tidak memperhatikannya. Maka Busyair berkata: “Wahai Ibnu ‘Abbas, mengapa aku melihatmu tidak mendengarkan haditsku? Aku memberitakanmu hadits dari Rasulullah shallallahu a'laihi wa sallam dan engkau tidak mendengarkannya.” Maka Ibnu ‘Abbas menjawab: “Sesungguhnya dahulu apabila kami mendengar seseorang berkata: Rasulullah shallallahu a'laihi wa sallam bersabda, maka pandangan kami tertuju padanya dan kami menyimaknya dengan telinga kami. Namun ketika manusia menunggangi yang sulit atau yang mudah (yakni semaunya dalam menyampaikan hadits, baik dengan cara yang baik atau yang jelek -ed), maka kami pun tidak mengambil (hadits) dari manusia kecuali dari yang kami kenal.”
Demikian pula yang disebutkan oleh Ibnu Sirin rahimahullah : “Dahulu (zaman Rasulullah shallallahu a'laihi wa sallam , pen) mereka tidak menanyakan tentang sanad. Namun ketika terjadi fitnah, maka mereka mengatakan: ‘Sebutkanlah kepada kami para perawi kalian.’ Maka dilihat kepada Ahlus Sunnah lalu diambil haditsnya, dan dilihat kepada ahli bid’ah lalu tidak diambil haditsnya.” (Riwayat Muslim dalam Muqaddimah Shahih-nya, 15)
Ketika mulai bermunculan hadits-hadits palsu yang tersebar di kalangan kaum muslimin yang berasal dari para pendusta hadits, maka mulailah dilakukan penelitian terhadap keadaan setiap hadits para perawi untuk melakukan tamhish (penjernihan) berbagai riwayat yang dinisbatkan kepada Rasulullah shallallahu a'laihi wa sallam .
Allah subhanahu wa taa'la telah menjamin terpeliharanya Al Qur`an dan As Sunnah dengan firman-Nya:
“Sesungguhnya Kami-lah yang menurunkan Al Qur’an, dan sesungguhnya Kami benar-benar memeliharanya.” (Al-Hijr: 9)
Sebagian orang mengadu kepada Abdullah bin Al-Mubarak rahimahullah tentang tersebarnya hadits-hadits palsu, maka beliau menjawab: “Para cendekia hadits yang akan menghadapinya.”(Diriwayatkan oleh Al-Khathib dalam Al-Kifayah, 36-37)
Maka bermunculanlah para pembela As Sunnah yang rela menghabiskan seluruh umur mereka demi memelihara Sunnah Rasulullah r. Di antara mereka adalah Abdurrahman bin Mahdi, Syu’bah bin Al-Hajjaj, Yahya bin Ma’in, Ahmad bin Hambal, Abu Hatim Ar-Razi, Abu Zur’ah Ar-Razi, Al-Bukhari, Muslim, Sufyan bin Sa’id Ats-Tsauri, Malik bin Anas, Abdullah bin Al-Mubarak, dan para imam lainnya rahimahumullah yang terkenal sebagai para tokoh dalam bidang al-jarh wat ta’dil.
Dalam meneliti keadaan para perawi hadits tersebut, mereka mempunyai berbagai cara dalam mengetahui ke-tsiqah-an atau kelemahan seorang rawi, yang secara garis besar terbagi menjadi dua bagian:
Pertama: Mereka semasa dengan para perawi tersebut, sehingga memungkinkan bagi mereka untuk melakukan pengetesan (ikhtibar) terhadap para perawi tersebut. Di antara cara ikhtibar tersebut adalah:
1. Memperhatikan keadaan perawi, istiqamahnya dalam ketakwaan, menjauhi kemaksiatan, serta bertanya kepada orang-orang yang mengenalnya dengan baik. Hasan bin Shalih berkata: “Adalah kami apabila hendak menulis hadits dari seorang perawi, kami pun bertanya (kepada yang mengenalnya) tentangnya, sehingga dikatakan kepada kami: Apakah kalian hendak menikahkannya?”(Al-Kifayah, 93)
2. Apabila seorang perawi meriwayatkan hadits dari seorang syaikh yang masih hidup, maka ditanyakan kepada syaikh yang masih hidup tersebut. Seperti apa yang diriwayatkan dari Syu’bah bin Al-Hajjaj bahwa dia berkata: Al-Hasan bin Umarah berkata: Al-Hakam telah memberitakan kepadaku dari Yahya bin Al-Jazzar dari ‘Ali sebanyak tujuh hadits.” Lalu aku (Syu’bah) bertanya langsung kepada Al-Hakam tentang riwayat itu, beliau menjawab: Aku tidak pernah mendengarnya sedikitpun.” (Tarikh Baghdad, Al-Khatib, 7/347)
Dan diriwayatkan oleh Ar-Ramahurmuzi dengan sanadnya dari Abu Dawud Ath-Thayalisi berkata: Syu’bah berkata: “Datangilah Jarir bin Hazim dan katakan padanya: Tidak halal bagimu meriwayatkan hadits dari Al-Hasan bin Umarah, karena dia berdusta.” Lalu aku bertanya kepada Syu’bah: “Apa tanda (kedustaannya)?” Beliau menjawab: “Dia meriwayatkan dari Al-Hakam sesuatu yang kami tidak mendapati asalnya.” (Dirasaat Fil Jarh Wat-Ta’dil, Al-A’zhami, 27)
Termasuk pula dalam hal ini adalah apa yang diriwayatkan oleh Al-Khatib Al-Baghdadi rahimahullah dari jalan Muammal bin Isma’il, dia berkata: Seorang syaikh telah memberitakan kepadaku hadits Ubay bin Ka’ab yang panjang tentang berbagai keutamaan Al Qur‘an, lalu aku berkata kepadanya: “Siapa yang memberitakan kepadamu?” Dia menjawab: “Seseorang di Mada`in dan dia masih hidup.” Maka akupun berangkat ke orang tersebut. Lalu aku bertanya kepadanya: “Siapa yang memberitakanmu?” Dia menjawab: “Telah memberitakan kepadaku seorang syaikh di Wasith dan dia pun masih hidup.” Lalu akupun berangkat menuju tempatnya. Lalu (setelah bertemu) dia berkata: “Telah memberitakan kepadaku seorang syaikh di Bashrah, dan dia pun masih hidup, lalu aku pun pergi menuju kepadanya. (Setelah bertemu) dia berkata: Telah memberitakan kepadaku seorang syaikh di Abbadan. Lalu akupun pergi menuju kepadanya.(Lalu aku bertanya kepadanya), maka diapun mengambil tanganku, lalu membawaku masuk ke sebuah rumah, yang ternyata di dalamnya terdapat kaum tasawwuf yang terdapat seorang syaikh bersama mereka. (Orang yang membawaku itu) berkata: “Syaikh inilah yang memberitakan kepadaku.” Lalu akupun bertanya kepadanya: “Wahai syaikh, siapakah yang memberitakannya kepadamu?” Diapun menjawab: “Tidak seorang pun yang memberitakan hadits ini kepadaku, akan tetapi ketika kami melihat manusia telah berpaling dari Al Qur‘an maka kami pun memalsukan hadits ini untuk mereka agar mengembalikan hati mereka kepada Al Qur‘an.” (Lihat An-Nukat ‘Ala Ibnish Shalah, Al-Hafidz, tahqiq Asy-Syaikh Rabi’ hafizhahullah, 2/862)
3. Apabila seorang perawi memberitakan hadits dari seorang syaikh yang telah meninggal, maka perawi tersebut ditanya: “Kapan engkau lahir? Kapan engkau bertemu syaikh tersebut? Di mana engkau menemuinya?”
Seperti apa yang diriwayatkan dari ‘Ufair bin Ma’dan bahwa Umar bin Musa memberitakan hadits dari Khalid bin Ma’dan. Maka ‘Ufair bertanya: “Tahun berapa engkau bertemu dengannya?” Dia menjawab: “Tahun 158 H, pada peperangan Armenia.” Aku pun berkata: “Takutlah kamu kepada Allah, wahai syaikh, jangan engkau berdusta. Khalid telah meninggal pada tahun 154 H, ditambah lagi bahwa beliau tidak pernah hadir dalam perang Armenia.” (Lisan Al-Mizan, Al-Hafidz, 4/380)
Dan masih banyak lagi cara mereka melakukan pengetesan terhadap kebenaran riwayat seorang perawi. (Lihat ‘Ilmu Ar-Rijaal Wa Ahammiyyatuhu, Abdurrahman bin Yahya Al-Mu’allimi)
Kedua: apabila mereka tidak semasa dengan perawi yang ingin diketahui keadaan riwayatnya, maka dengan cara sabrul ahaadiits (pengecekan satu persatu riwayat perawi tersebut). Jika perawi tersebut banyak meriwayatkan hadits dan jarang terjadi kesalahan dalam riwayatnya, maka dia disifati sebagai seorang hafidz. Jika memiliki sedikit kesalahan dibanding sekian banyak riwayatnya, maka haditsnya berada di antara tingkatan shahih hingga hasan. Jika banyak terjadi kesalahan pada riwayatnya dan fatal kesalahannya, hanya saja tidak sampai kepada tingkat ditinggalkan haditsnya, maka yang demikian derajatnya dha’if atau lemah. Dan apabila kesalahan lebih mendominasi haditsnya, maka orang yang demikian ditinggalkan haditsnya. (Lihat Ittihaful Hafazhah, Al-Baidhani, 11-12)
Adapun perincian dalam permasalahan ini, silahkan merujuk kepada kitab-kitab yang membahas khusus tentang al-jarh wat-ta’dil.
Wallahul muwaffiq.
--------------
Sumber: http://asysyariah.com/
Hasil nukilan
Gjoykamitake
pada
5:05 PM
Subscribe to:
Post Comments (Atom)
No comments:
Post a Comment