Sunday, December 23, 2012
Penjelasan Status Zikir Taubat الهي لست للفردوس أهلا
Tempoh hari penulis diminta untuk menjelaskan status sebenar bagi bait-bait yang dianggap zikir dalam kalangan masyarakat Islam di negara ini bahkan di negara-negara sekitar nusantara ini. Kalimah atau bait-bait di dalamnya dinisbahkan sebagai zikir taubat dan ada juga menamakannya zikir munajat atau nama-nama lainnya yang mungkin penulis sendiri tidak tahu, wallahualam. Sahabat blog tersebut adalah akhi Anak Ulu Cheka dan turut mendapat respon dari akhi Denaihati yang turut ingin mengetahui status sebenar kesahihan bait-bait tersebut. Kedua mereka adalah blogger yang menurut saya popular dan mempunyai pengisian yang baik di dalam blog mereka, jemput ziarah ke blog mereka untuk mengambil apa yang bermanfaat.
Penulis memuji sikap kedua blogger senior ini yang mana bertanyakan status sebenar sesuatu perkara. Suatu perkara yang jarang ada pada kebanyakan ummah hari ini dimana kebanyakan dari kita lebih gemar menerima bulat-bulat dan berta'lid dengannya tanpa menyemak terlebih dahulu sumber atau dari mana datangnya sesuatu dakwaan, teori dan sebagainya. Adapun ia banyak berlaku termasuklah dalam urusan agama, seperti penggunaan hadith tanpa mengetahui statusnya, penggunaan bait-bait seperti yang akan penulis jelaskan sebentar nanti dan sebagainya. Semoga kita semua selepas ini ringan mulut dan tidak segan silu bertanya akan sumber dan status kesahihan sesebuah perkara sebelum menerimanya. InsyaAllah.
Penjelasan Status Zikir Taubat الهي لست للفردوس أهلا
Berikut bait-bait yang mahsyur yang dinisbahkan sebagai zikir taubat/munajat dan nama lain, wallahua'lam.
إِلَهِي لَسْتُ لِلْفِرْدَوْسِ أَهْلَا
وَلَا أَقوَى عَلَى النَّارِ الْجَحِيمِ
فَهَبْ لِي تَوْبَةً وَاغْفِرْ ذُنُوبِي
فَإِنَّكَ غَافِرُ الذَّنبِ الْعَظِيمِ
Wahai Tuhan ku tak layak ke Syurga-Mu
Namun Aku tidak sanggup ke neraka-Mu
Terimalah taubatku dan ampuni segala dosaku
Sesungguhnya Engkaulah pengampun dosa-dosa besar
Bait-bait di atas sebenarnya bukanlah zikir yang thabit daripada zikir Rasulullah s.a.w. Tidak ditemukan di dalam mana-mana kitab hadith sama ada khutub sittah (kitab hadith yang enam) seperti Sahih al-Bukhari, Sahih Muslim, Sunan Ibn Majah, Sunan Abu Daud, Sunan al-Tirmizi,dan Sunan an-Nasai'e mahupun kitab hadith yang lainnya seperti Al-Muwaththa' Al- Imam Malik, Musnad Imam Ahmad, Sunan ad-Darimi, Sahih Ibnu Khuzaimah, Sahih Ibnu Hibban, Mu'jam Al-Kabir, Mu'jam Al-Ausath, Mu'jam As-Saghir (at-Thabarani), Sunan ad-Daruquthni, Mustadrak Al-Hakim mahupun Sunan al-Kubra al-Bahaqi. Jika anda menyemak dan menemukan bait ini di dalam kitab di atas maka penulis sedia menerimanya dan penulisan ini mansukh dengan sendirinya.
Penulis memuji sikap kedua blogger senior ini yang mana bertanyakan status sebenar sesuatu perkara. Suatu perkara yang jarang ada pada kebanyakan ummah hari ini dimana kebanyakan dari kita lebih gemar menerima bulat-bulat dan berta'lid dengannya tanpa menyemak terlebih dahulu sumber atau dari mana datangnya sesuatu dakwaan, teori dan sebagainya. Adapun ia banyak berlaku termasuklah dalam urusan agama, seperti penggunaan hadith tanpa mengetahui statusnya, penggunaan bait-bait seperti yang akan penulis jelaskan sebentar nanti dan sebagainya. Semoga kita semua selepas ini ringan mulut dan tidak segan silu bertanya akan sumber dan status kesahihan sesebuah perkara sebelum menerimanya. InsyaAllah.
Penjelasan Status Zikir Taubat الهي لست للفردوس أهلا
Berikut bait-bait yang mahsyur yang dinisbahkan sebagai zikir taubat/munajat dan nama lain, wallahua'lam.
إِلَهِي لَسْتُ لِلْفِرْدَوْسِ أَهْلَا
وَلَا أَقوَى عَلَى النَّارِ الْجَحِيمِ
فَهَبْ لِي تَوْبَةً وَاغْفِرْ ذُنُوبِي
فَإِنَّكَ غَافِرُ الذَّنبِ الْعَظِيمِ
Wahai Tuhan ku tak layak ke Syurga-Mu
Namun Aku tidak sanggup ke neraka-Mu
Terimalah taubatku dan ampuni segala dosaku
Sesungguhnya Engkaulah pengampun dosa-dosa besar
Bait-bait di atas sebenarnya bukanlah zikir yang thabit daripada zikir Rasulullah s.a.w. Tidak ditemukan di dalam mana-mana kitab hadith sama ada khutub sittah (kitab hadith yang enam) seperti Sahih al-Bukhari, Sahih Muslim, Sunan Ibn Majah, Sunan Abu Daud, Sunan al-Tirmizi,dan Sunan an-Nasai'e mahupun kitab hadith yang lainnya seperti Al-Muwaththa' Al- Imam Malik, Musnad Imam Ahmad, Sunan ad-Darimi, Sahih Ibnu Khuzaimah, Sahih Ibnu Hibban, Mu'jam Al-Kabir, Mu'jam Al-Ausath, Mu'jam As-Saghir (at-Thabarani), Sunan ad-Daruquthni, Mustadrak Al-Hakim mahupun Sunan al-Kubra al-Bahaqi. Jika anda menyemak dan menemukan bait ini di dalam kitab di atas maka penulis sedia menerimanya dan penulisan ini mansukh dengan sendirinya.
Hasil nukilan
Gjoykamitake
pada
7:32 AM
Saturday, December 22, 2012
Apakah Allah Memiliki Wajah ?
Allah ta’ala berfirman tentang diri-Nya,
لَيْسَ كَمِثْلِهِ شَيْءٌ وَهُوَ السَّمِيعُ البَصِيرُ
“Tidak ada sesuatu pun yang serupa dengan-Nya, dan Dia Maha Mendengar lagi Maha Melihat.” (QS. Asy-Syuura: 11)
Syaikh Abdurrahman bin Naashir As-Sa’di rahimahullah mengatakan di dalam kitab tafsirnya, “[Tidak ada sesuatu pun yang serupa dengan-Nya] maknanya tidak ada yang menyerupai Allah ta’ala dan tidak ada satu makhluk pun yang mirip dengan-Nya, baik dalam Zat, nama, sifat maupun perbuatan-perbuatan-Nya. Hal ini karena seluruh nama-Nya adalah husna (paling indah), sifat-sifatNya adalah sifat kesempurnaan dan keagungan……”
Beliau melanjutkan, “[dan Dia Maha Mendengar] maknanya Dia Maha Mendengar segala macam suara dengan bahasa yang beraneka ragam dengan berbagai macam kebutuhan yang diajukan. [Dia Maha Melihat] maknanya Allah bisa melihat bekas rayapan semut hitam di dalam kegelapan malam di atas batu yang hitam……”
Beliau melanjutkan, “Ayat ini dan ayat yang semisalnya merupakan dalil Ahlu Sunnah wal Jamaah untuk menetapkan sifat-sifat Allah dan meniadakan keserupaan sifat Allah dengan sifat makhluk. Di dalam ayat ini terdapat bantahan bagi kaum musyabbihah (kelompok yang menyerupakan sifat Allah dengan sifat makhluk -ed) yaitu dalam firman-Nya:
لَيْسَ كَمِثْلِهِ شَيْءٌ
“Tidak ada sesuatu pun yang serupa dengan-Nya.”
Juga bantahan bagi kaum mu’aththilah (kelompok yang menolak penetapan sifat Allah -ed) dalam firman-Nya
وَهُوَ السَّمِيعُ البَصِيرُ
“Dia Maha Mendengar lagi Maha Melihat.”
(Taisir Karimir Rahman)
لَيْسَ كَمِثْلِهِ شَيْءٌ وَهُوَ السَّمِيعُ البَصِيرُ
“Tidak ada sesuatu pun yang serupa dengan-Nya, dan Dia Maha Mendengar lagi Maha Melihat.” (QS. Asy-Syuura: 11)
Syaikh Abdurrahman bin Naashir As-Sa’di rahimahullah mengatakan di dalam kitab tafsirnya, “[Tidak ada sesuatu pun yang serupa dengan-Nya] maknanya tidak ada yang menyerupai Allah ta’ala dan tidak ada satu makhluk pun yang mirip dengan-Nya, baik dalam Zat, nama, sifat maupun perbuatan-perbuatan-Nya. Hal ini karena seluruh nama-Nya adalah husna (paling indah), sifat-sifatNya adalah sifat kesempurnaan dan keagungan……”
Beliau melanjutkan, “[dan Dia Maha Mendengar] maknanya Dia Maha Mendengar segala macam suara dengan bahasa yang beraneka ragam dengan berbagai macam kebutuhan yang diajukan. [Dia Maha Melihat] maknanya Allah bisa melihat bekas rayapan semut hitam di dalam kegelapan malam di atas batu yang hitam……”
Beliau melanjutkan, “Ayat ini dan ayat yang semisalnya merupakan dalil Ahlu Sunnah wal Jamaah untuk menetapkan sifat-sifat Allah dan meniadakan keserupaan sifat Allah dengan sifat makhluk. Di dalam ayat ini terdapat bantahan bagi kaum musyabbihah (kelompok yang menyerupakan sifat Allah dengan sifat makhluk -ed) yaitu dalam firman-Nya:
لَيْسَ كَمِثْلِهِ شَيْءٌ
“Tidak ada sesuatu pun yang serupa dengan-Nya.”
Juga bantahan bagi kaum mu’aththilah (kelompok yang menolak penetapan sifat Allah -ed) dalam firman-Nya
وَهُوَ السَّمِيعُ البَصِيرُ
“Dia Maha Mendengar lagi Maha Melihat.”
(Taisir Karimir Rahman)
Hasil nukilan
Gjoykamitake
pada
11:36 AM
Friday, November 23, 2012
KAIDAH-KAIDAH IBADAH YANG BENAR
Oleh
Ustadz Abu Ismail Muslim Atsari
Sesungguhnya, kemuliaan seorang hamba, ialah dengan beribadah kepada Allah semata, tanpa menyekutukanNya dengan sesuatu apapun. Jika seorang hamba semakin menambah ketundukan dan peribadahannya kepada Allah, maka semakin bertambah pula kesempurnaan dan derajatnya.
Ibadah adalah hak Allah yang menjadi kewajiban hamba. Kebaikannya akan kembali kepada hamba itu sendiri. Karena sesungguhnya Allah tidak membutuhkan hambaNya.
وَمَنْ جَاهَدَ فَإِنَّمَا يُجَاهِدُ لِنَفْسِهِ ۚ إِنَّ اللَّهَ لَغَنِيٌّ عَنِ الْعَالَمِينَ
Dan Barangsiapa yang berjihad, Maka Sesungguhnya jihadnya itu adalah untuk dirinya sendiri. Sesungguhnya Allah benar-benar Maha Kaya (tidak memerlukan sesuatu) dari semesta alam (seluruh makhluk). [al 'Ankabut/29 : 6].
Imam Ibnu Katsir rahimahullah mengatakan di dalam tafsir beliau tentang ayat ini: "Yaitu, barangsiapa melakukan amal shalih, maka sesungguhnya manfaat amal shalihnya akan kembali kepada dirinya sendiri, karena sesungguhnya Allah Ta'ala Maha Cukup (yakni tidak membutuhkan) dari perbuatan-perbuatan hamba. Walaupun mereka semua berada pada hati hambaNya yang paling bertakwa, hal itu tidaklah menambah sesuatupun dalam karajaanNya"[1].
Walaupun manusia dengan akalnya dapat memahami mengenai kewajiban beribadah kepada Rabb-nya, namun dia tidak mungkin mengetahui cara beribadah kepada Allah secara benar hanya dengan melandaskan pada akal dan perasaannya. Sehingga Allah mengutus rasul-rasulNya dan menurunkan kitab-kitabNya untuk memberikan petunjukNya.
Allah berfirman:
فَإِمَّا يَأْتِيَنَّكُمْ مِنِّي هُدًى فَمَنِ اتَّبَعَ هُدَايَ فَلَا يَضِلُّ وَلَا يَشْقَىٰ
… Maka jika datang kepada kamu (manusia) petunjuk dariKu, lalu barangsiapa mengikuti petunjukKu, dia tidak akan sesat dan tidak akan celaka. [Thaha/20 : 123].
Adapun sebelum diutus rasul dan tanpa petunjuk Rasul, maka manusia itu di dalam keadaan jahiliyah. Allah Azza wa Jalla berfirman:
هُوَ الَّذِي بَعَثَ فِي الْأُمِّيِّينَ رَسُولًا مِنْهُمْ يَتْلُو عَلَيْهِمْ آيَاتِهِ وَيُزَكِّيهِمْ وَيُعَلِّمُهُمُ الْكِتَابَ وَالْحِكْمَةَ وَإِنْ كَانُوا مِنْ قَبْلُ لَفِي ضَلَالٍ مُبِينٍ
Dia-lah yang mengutus kepada kaum yang buta huruf seorang Rasul di antara mereka, yang membacakan ayat-ayat-Nya kepada mereka, mensucikan mereka dan mengajarkan mereka Kitab dan Hikmah (as Sunnah). Dan sesungguhnya mereka sebelumnya benar-benar dalam kesesatan yang nyata. [al Jumu'ah/62 : 2].
KAIDAH-KAIDAH IBADAH
Ibadah yang benar kepada Allah dibangun di atas dasar-dasar atau kaidah-kaidah yang kokoh. Ini semua dijelaskan oleh Allah di dalam kitabNya, dan oleh Nabi Shallallahu 'alaihi wa sallam di dalam Sunnahnya, serta oleh para ulama Ahlus Sunnah wal Jama'ah.
Hasil nukilan
Gjoykamitake
pada
10:57 AM
Di Mana Allah (Beberapa Syubhat (Kekeliruan) Ahl al-Bid’ah Dan Jawapan Ahl al-Sunnah Ke Atasnya)
Penulis: Mohd Hairi Nonchi
Beberapa Syubhat (Kekeliruan) Ahl al-Bid’ah Dan Jawapan Ahl al-Sunnah Ke Atasnya
Dalam rangka menolak manhaj Ahl al-Sunnah berhubung dengan penetapan (ithbat) ke atas sifat al-Istiwa’ Allah Subhanahu wa Ta’ala di atas ‘Arasy di atas langit tanpa takwil dan ta’thil, golongan Ahl al-Takwil khususnya mereka yang beraliran al-Asya’irah dan yang sefahaman dengannya telah membentuk beberapa hujah bagi menjustifikasikan penolakan tersebut.
Di sini penulis akan membawakan enam contoh daripada hujah-hujah yang dimaksudkan, disusuli dengan hujah balas pihak Ahl al-Sunnah ke atasnya bagi meluruskan semula kekeliruan-kekeliruan yang dimaksudkan. Adapun hujah atau syubhat yang dimaksudkan dan jawapan semula Ahl al-Sunnah ke atasnya adalah seperti berikut:
Syubhat # 1:
Para pentakwil dan pengingkar sifat Allah Subhanahu wa Ta’ala membawakan beberapa ucapan para tokoh Ahl al-Sunnah wa al-Jama’ah sebagai hujah bagi menolak penetapan sifat al-Istiwa’ Allah di atas ‘Arasy di atas langit, antaranya yang masyhur adalah sebagaimana ucapan al-Imam asy-Syafie rahimahullah (204H) di bawah ini:[1]
والد ليل عليه هو أنه تعالى كان ولا مكان فخلق المكان و هو على صفة الأزليه كما قبل خلقه المكان لا يجوز عليه التغيير في ذاته ولا التبديل في صفاته.
Dalil untuk itu (tiada bagi Allah itu tempat) ialah Allah itu telah ada dan tempat itu tiada. Lalu Allah mencipta tempat dan Allah masih lagi dalam keadaan sifat-Nya yang azali sebelum terciptanya tempat. Tidak boleh berlaku perubahan ke atas dzat-Nya dan tidak berlaku pertukaran ke atas sifat-Nya.
Ucapan yang hampir sama juga telah dikemukakan oleh al-Imam ‘Abd al-Qadir al-Baghdadi rahimahullah (429H) dimana beliau menulis di dalam kitabnya, al-Farqu Baina al-Firaq, ms. 256:[2]
وأجمعواعلى أنه لا يحويه مكان ولا يجري عليه زمان.
Mereka (Ahl al-Sunnah wa al-Jama’ah) telah berijmak (bersepakat) bahawa Allah tidak bertempat.
Dengan membawakan kenyataan kedua-dua tokoh di atas dan lain-lain tokoh seumpama, para pentakwil dan pengingkar sifat Allah Subhanahu wa Ta’ala merumuskan bahawa tidak diperbolehkan berkata “Allah beristiwa’ di atas ‘Arasy di atas langit” kerana ucapan seperti ini akan menimbulkan kesan keberadaan Allah Subhanahu wa Ta’ala pada suatu tempat, hal yang mustahil bagi-Nya dan mustahil pula diucapkan oleh Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam.
Beberapa Syubhat (Kekeliruan) Ahl al-Bid’ah Dan Jawapan Ahl al-Sunnah Ke Atasnya
Dalam rangka menolak manhaj Ahl al-Sunnah berhubung dengan penetapan (ithbat) ke atas sifat al-Istiwa’ Allah Subhanahu wa Ta’ala di atas ‘Arasy di atas langit tanpa takwil dan ta’thil, golongan Ahl al-Takwil khususnya mereka yang beraliran al-Asya’irah dan yang sefahaman dengannya telah membentuk beberapa hujah bagi menjustifikasikan penolakan tersebut.
Di sini penulis akan membawakan enam contoh daripada hujah-hujah yang dimaksudkan, disusuli dengan hujah balas pihak Ahl al-Sunnah ke atasnya bagi meluruskan semula kekeliruan-kekeliruan yang dimaksudkan. Adapun hujah atau syubhat yang dimaksudkan dan jawapan semula Ahl al-Sunnah ke atasnya adalah seperti berikut:
Syubhat # 1:
Para pentakwil dan pengingkar sifat Allah Subhanahu wa Ta’ala membawakan beberapa ucapan para tokoh Ahl al-Sunnah wa al-Jama’ah sebagai hujah bagi menolak penetapan sifat al-Istiwa’ Allah di atas ‘Arasy di atas langit, antaranya yang masyhur adalah sebagaimana ucapan al-Imam asy-Syafie rahimahullah (204H) di bawah ini:[1]
والد ليل عليه هو أنه تعالى كان ولا مكان فخلق المكان و هو على صفة الأزليه كما قبل خلقه المكان لا يجوز عليه التغيير في ذاته ولا التبديل في صفاته.
Dalil untuk itu (tiada bagi Allah itu tempat) ialah Allah itu telah ada dan tempat itu tiada. Lalu Allah mencipta tempat dan Allah masih lagi dalam keadaan sifat-Nya yang azali sebelum terciptanya tempat. Tidak boleh berlaku perubahan ke atas dzat-Nya dan tidak berlaku pertukaran ke atas sifat-Nya.
Ucapan yang hampir sama juga telah dikemukakan oleh al-Imam ‘Abd al-Qadir al-Baghdadi rahimahullah (429H) dimana beliau menulis di dalam kitabnya, al-Farqu Baina al-Firaq, ms. 256:[2]
وأجمعواعلى أنه لا يحويه مكان ولا يجري عليه زمان.
Mereka (Ahl al-Sunnah wa al-Jama’ah) telah berijmak (bersepakat) bahawa Allah tidak bertempat.
Dengan membawakan kenyataan kedua-dua tokoh di atas dan lain-lain tokoh seumpama, para pentakwil dan pengingkar sifat Allah Subhanahu wa Ta’ala merumuskan bahawa tidak diperbolehkan berkata “Allah beristiwa’ di atas ‘Arasy di atas langit” kerana ucapan seperti ini akan menimbulkan kesan keberadaan Allah Subhanahu wa Ta’ala pada suatu tempat, hal yang mustahil bagi-Nya dan mustahil pula diucapkan oleh Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam.
Hasil nukilan
Gjoykamitake
pada
9:36 AM
Sunday, October 7, 2012
SIKAP AHLUS SUNNAH TERHADAP MU'AWIYAH DAN PERTIKAIANNYA DENGAN ALI
Oleh
Ustadz Abu Ihsan Al-Atsari
KEUTAMAAN MU'AWIYAH BIN ABI SUFYAN RADHIYALLAHU 'ANHU
Imam Ahmad meriwayatkan di dalam Musnad-nya, dari Abdurrahman bin Abi Umairah al Azdi, dari Nabi Shallallahu 'alaihi wa sallam, bahwa beliau Shallallahu 'alaihi wa sallam pernah menyebut Mu'awiyah dan berkata: "Ya, Allah. Jadikanlah ia orang yang menuntun kepada hidayah dan berilah ia hidayah".[1]
Ishaq bin Rahuyah berkata,"Tidak ada satupun hadits yang shahih tentang keutamaan Mu'awiyah Radhiyallahu 'anhu ; (dan) an Nasaa-í juga berkata demikian."
Hadits yang paling kuat dalam masalah ini adalah hadits Abdurrahman bin Abi Umairah di atas.
Ibnu Abbas Radhiyallahu 'anhuma telah memuji Mu'awiyah Radhiyallahu 'anhu atas ilmu fiqih yang dimilikinya. Imam al Bukhari meriwayatkan di dalam Shahih-nya, dari jalur Nafi' bin Umar dari Ibnu Abi Mulaikah, bahwasanya ada yang berkata kepada Ibnu Abbas: "Mengapa Anda tidak menasihati Amirul Mukminin Mu'awiyah? Sesungguhnya dia hanya berwitir satu rakaat saja!"
"Benar," katanya,"Dia adalah seorang faqih!"[2]
Ibnu Abbas juga mengabarkan, Mu'awiyah termasuk sahabat Nabi. Imam al Bukhari meriwayatkan dari jalur Utsman bin al Aswad dari Ibnu Abi Mulaikah, ia berkata: "Mu'awiyah mengerjakan witir satu rakaat setelah Isya', sedang maula Ibnu Abbas melihatnya. Diapun melaporkannya kepada Ibnu Abbas. Beliau berkata,'Biarkan, sesungguhnya ia telah menyertai Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam'.[3]"
Ustadz Abu Ihsan Al-Atsari
KEUTAMAAN MU'AWIYAH BIN ABI SUFYAN RADHIYALLAHU 'ANHU
Imam Ahmad meriwayatkan di dalam Musnad-nya, dari Abdurrahman bin Abi Umairah al Azdi, dari Nabi Shallallahu 'alaihi wa sallam, bahwa beliau Shallallahu 'alaihi wa sallam pernah menyebut Mu'awiyah dan berkata: "Ya, Allah. Jadikanlah ia orang yang menuntun kepada hidayah dan berilah ia hidayah".[1]
Ishaq bin Rahuyah berkata,"Tidak ada satupun hadits yang shahih tentang keutamaan Mu'awiyah Radhiyallahu 'anhu ; (dan) an Nasaa-í juga berkata demikian."
Hadits yang paling kuat dalam masalah ini adalah hadits Abdurrahman bin Abi Umairah di atas.
Ibnu Abbas Radhiyallahu 'anhuma telah memuji Mu'awiyah Radhiyallahu 'anhu atas ilmu fiqih yang dimilikinya. Imam al Bukhari meriwayatkan di dalam Shahih-nya, dari jalur Nafi' bin Umar dari Ibnu Abi Mulaikah, bahwasanya ada yang berkata kepada Ibnu Abbas: "Mengapa Anda tidak menasihati Amirul Mukminin Mu'awiyah? Sesungguhnya dia hanya berwitir satu rakaat saja!"
"Benar," katanya,"Dia adalah seorang faqih!"[2]
Ibnu Abbas juga mengabarkan, Mu'awiyah termasuk sahabat Nabi. Imam al Bukhari meriwayatkan dari jalur Utsman bin al Aswad dari Ibnu Abi Mulaikah, ia berkata: "Mu'awiyah mengerjakan witir satu rakaat setelah Isya', sedang maula Ibnu Abbas melihatnya. Diapun melaporkannya kepada Ibnu Abbas. Beliau berkata,'Biarkan, sesungguhnya ia telah menyertai Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam'.[3]"
Hasil nukilan
Gjoykamitake
pada
5:24 PM
TIDAK ADA BENDA KERAMAT DI DALAM AGAMA ISLAM
Oleh
Ustadz Ali Musri Semjan Putra
Segala puji bagi Allah Azza wa Jalla, Rabb semesta alam. Tiada yang berhak diibadahi kecuali Dia semata, yang telah mengutus para rasul dan menurunkan kitab-kitab demi kebahagian manusia di dunia dan di akhirat kelak. Dia-lah tempat meminta dan bergantung dalam segala keadaan. Baik di saat suka maupun duka, di saat senang maupun susah, di saat sehat maupun sakit. Dia-lah yang memberi kesembuhan atas segala penyakit.
Salawat beserta salam kita ucapkan untuk Nabi kita Muhammad Shallallahu ‘alaihi wa sallam , Nabi pembawa rahmat untuk seluruh alam. Nabi yang amat mencintai umatnya, yang telah menyuruh umatnya untuk memohon dan meminta pertolongan hanya kepada Allah Azza wa Jalla.
Semoga salawat juga terlimpah buat keluarga, para sahabat beliau dan orang-orang yang berjalan di atas jalan mereka sampai hari kemudian.
Para pembaca yang kami muliakan, pada kesempatan kali ini kita akan membahas peristiwa menyedihkan yang melanda negeri kita; yang bila dilihat dari sisi syar'i lebih dahsyat dari tsunami atau gempa yang memporak-porandakan gedung-gedung. Peristiwa itu adalah musibah kehancuran dan robohnya aqidah umat dilindas batu para dukun cilik. Betapa tidak, fitnah ini korbannya jauh lebih dahsyat dari segala bencana. Betapa rapuhnya aqidah umat kita, yang hanya dengan tiga batu kerikil milik tiga anak cilik saja mampu merobohkannya. Bagaimana seandainya mereka dihadapkan kepada fitnah Dajjal yang mampu menyuburkan bumi yang kering kerontang; menghidupkan orang mati dan lainnya ? Tentu tidak bisa dibayangkan apa yang akan terjadi dengan umat ini. jika mereka dihadapkan kepada fitnah yang dimiliki Dajjal itu. Kita memohon kepada Allah Azza wa Jalla untuk mengembalikan umat kepada agama yang lurus.
Perbuatan syirik itu telah menjadi berita hangat dan tontonan serta menyita perhatian berbagai tokoh nasional. Amat sedikit sekali yang mengomentari peristiwa tersebut dengan nilai-nilai aqidah dan sebagian besar malahan menyalahkan pemerintah terutama departemen kesehatan.
Di tengah-tengah kemajuan teknologi dan keilmuan, ternyata dalam hal agama, kita masih primitif. Seharusnya yang perlu menjadi perhatian pertama adalah pendidikan umat dengan ilmu agama dan aqidah yang lurus. Agar mereka tidak dapat dihanyutkan oleh berbagai kesyirikan yang diungkapkan dengan istilah-istilah yang menyesatkan. Semoga kejadian ini menjadi pertimbangan berbagai pihak dalam menentukan kebijakan sistem pendidikan kita ke depan. Sudah terbukti bahwa ilmu-ilmu yang bersumber dari penelitian manusia tidak mampu mengeluarkan dari keprimitifan dalam beragama.
Memang Nabi kita Shallallahu ’alaihi wa sallam dari jauh-jauh hari sudah memperingatkan bahwa umat ini akan kembali terjerumus ke dalam kesyirikan dan kesesatan umat-umat yang lalu
« لَتَتَّبِعُنَّ سَنَنَ الَّذِينَ مِنْ قَبْلِكُمْ شِبْرًا بِشِبْرٍ وَذِرَاعًا بِذِرَاعٍ حَتَّى لَوْ دَخَلُوا فِى جُحْرِ ضَبٍّ لاَتَّبَعْتُمُوهُمْ ». متفق عليه
"Sesunguhnya kalian akan mengikuti kebiasaan umat-umat sebelum kalian, sejengkal demi sejengkal, sedepa demi sedepa, sehingga seandainya mereka masuk lubang Dhab (sejenis kadal), niscaya akan kalian ikuti". [HR. Bukhâri dan Muslim]
Hasil nukilan
Gjoykamitake
pada
2:44 PM
Wednesday, September 19, 2012
PENGAKUAN CINTA RASUL
Oleh
Ustadz Abu Isma’il Muslim al Atsari
Seseorang tidaklah menjadi orang yang beriman sempurna, sampai dia mencintai Nabi Muhammad Shallallahu 'alaihi wa sallam lebih daripada seluruh manusia. Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam bersabda:
لَا يُؤْمِنُ أَحَدُكُمْ حَتَّى أَكُونَ أَحَبَّ إِلَيْهِ مِنْ وَالِدِهِ وَوَلَدِهِ وَالنَّاسِ أَجْمَعِينَ
"Tidaklah beriman –dengan keimanan yang sempurna- salah seorang dari kamu, sampai aku menjadi yang paling dia cintai daripada bapaknya, anaknya, dan seluruh manusia" [HR Bukhari, no. 15; Muslim, no. 44; dari Anas bin Malik].
Jika seseorang mencintai Nabi Muhammad Shallallahu 'alaihi wa sallam lebih daripada seluruh manusia, maka dia akan mengikuti petunjuk beliau Shallallahu 'alaihi wa sallam. Dia akan lebih mengutamakan beliau Shallallahu 'alaihi wa sallam daripada petunjuk siapa saja dari kalangan manusia.
Al Qadhi ‘Iyadh rahimahullah berkata: “Ketahuilah, orang yang mencintai sesuatu, ia akan mengutamakannya dan mengutamakan kecocokan dengannya. Jika tidak, maka ia tidak benar di dalam kecintaannya, dan dia (hanya) sebagai orang yang mengaku-ngaku saja. Maka orang yang benar di dalam kecintaannya kepada Nabi Shallallahu 'alaihi wa sallam adalah, orang yang nampak darinya tanda-tanda tersebut. Yang pertama dari tanda-tanda itu adalah, meneladani Nabi Shallallahu 'alaihi wa sallam, mengamalkan sunnahnya (ajarannya), mengikuti perkataan dan perbuatannya, dan beradab dengan adab-adabnya, pada waktu kesusahan dan kemudahan, pada waktu senang dan benci”.[1]
Imam Ibnu Rajab al Hambali rahimahullah berkata: “Kecintaan yang benar mengharuskannya mengikuti dan mencocoki di dalam kecintaan apa-apa yang dicintai dan kebencian di dalam apa-apa yang dibenci... Maka barangsiapa mencintai Allah dan RasulNya dengan kecintaan yang benar dari hatinya, hal itu menyebabkan dia mencintai -dengan hatinya- apa yang dicintai oleh Allah dan RasulNya, dan dia membenci apa yang dibenci oleh Allah dan RasulNya, ridha dengan apa yang diridhai oleh Allah dan RasulNya, murka terhadap yang dimurkai oleh Allah dan RasulNya, dan dia menunjukkan kecintaan dan kebenciannya ini dengan anggota badannya”.[2]
Ustadz Abu Isma’il Muslim al Atsari
Seseorang tidaklah menjadi orang yang beriman sempurna, sampai dia mencintai Nabi Muhammad Shallallahu 'alaihi wa sallam lebih daripada seluruh manusia. Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam bersabda:
لَا يُؤْمِنُ أَحَدُكُمْ حَتَّى أَكُونَ أَحَبَّ إِلَيْهِ مِنْ وَالِدِهِ وَوَلَدِهِ وَالنَّاسِ أَجْمَعِينَ
"Tidaklah beriman –dengan keimanan yang sempurna- salah seorang dari kamu, sampai aku menjadi yang paling dia cintai daripada bapaknya, anaknya, dan seluruh manusia" [HR Bukhari, no. 15; Muslim, no. 44; dari Anas bin Malik].
Jika seseorang mencintai Nabi Muhammad Shallallahu 'alaihi wa sallam lebih daripada seluruh manusia, maka dia akan mengikuti petunjuk beliau Shallallahu 'alaihi wa sallam. Dia akan lebih mengutamakan beliau Shallallahu 'alaihi wa sallam daripada petunjuk siapa saja dari kalangan manusia.
Al Qadhi ‘Iyadh rahimahullah berkata: “Ketahuilah, orang yang mencintai sesuatu, ia akan mengutamakannya dan mengutamakan kecocokan dengannya. Jika tidak, maka ia tidak benar di dalam kecintaannya, dan dia (hanya) sebagai orang yang mengaku-ngaku saja. Maka orang yang benar di dalam kecintaannya kepada Nabi Shallallahu 'alaihi wa sallam adalah, orang yang nampak darinya tanda-tanda tersebut. Yang pertama dari tanda-tanda itu adalah, meneladani Nabi Shallallahu 'alaihi wa sallam, mengamalkan sunnahnya (ajarannya), mengikuti perkataan dan perbuatannya, dan beradab dengan adab-adabnya, pada waktu kesusahan dan kemudahan, pada waktu senang dan benci”.[1]
Imam Ibnu Rajab al Hambali rahimahullah berkata: “Kecintaan yang benar mengharuskannya mengikuti dan mencocoki di dalam kecintaan apa-apa yang dicintai dan kebencian di dalam apa-apa yang dibenci... Maka barangsiapa mencintai Allah dan RasulNya dengan kecintaan yang benar dari hatinya, hal itu menyebabkan dia mencintai -dengan hatinya- apa yang dicintai oleh Allah dan RasulNya, dan dia membenci apa yang dibenci oleh Allah dan RasulNya, ridha dengan apa yang diridhai oleh Allah dan RasulNya, murka terhadap yang dimurkai oleh Allah dan RasulNya, dan dia menunjukkan kecintaan dan kebenciannya ini dengan anggota badannya”.[2]
Hasil nukilan
Gjoykamitake
pada
12:34 PM
Subscribe to:
Posts (Atom)