Monday, March 18, 2013
MEMAHAMI TAKDIR ALLAH SUBHANAHU WA T'ALA MENURUT PERSPEKTIF AHLUS SUNNAH WAL JAMA'AH
Oleh
Ustadz Abdullah bin Taslim al-Buthoni, M.A
Iman kepada takdir dan ketentuan Allâh Azza wa Jalla bagi semua makhluk-Nya termasuk bagian dari prinsip dasar agama Islam yang dibawa oleh Nabi Muhammad n . Oleh karenanya, keimanan seorang hamba tidak akan menjadi benar di sisi Allâh Azza wa Jalla kecuali setelah memahami dan meyakini masalah ini dengan benar [1].
Karena iman kepada takdir Allâh Azza wa Jalla secara khusus berkaitan erat dengan tauhid rububiyah (mengesakan Allâh Subhanahu wa Ta’ala dalam perbuatan-perbuatan-Nya yang khusus bagi-Nya, seperti menciptakan, mengatur dan memberi rizki kepada semua makhluk-Nya), sekaligus berkaitan dengan tauhidul asmâ wash shifât karena menakdirkan dan menetapkan termasuk sifat kesempurnaan-Nya [2].
Imam Ibnu Qudâmah al-Maqdisi rahimahullah berkata, “Di antara sifat Allâh Subhanahu wa Ta’ala adalah Dia Maha (kuasa) berbuat apa yang dikehendaki-Nya, tidak ada sesuatu pun yang terjadi kecuali dengan kehendak-Nya dan tidak ada yang luput dari kehendak-Nya. Tidak ada sesuatu pun di alam ini yang lepas dari takdir-Nya dan semuanya terjadi dengan pengaturan-Nya. Oleh sebab itu, tidak ada seorang pun yang (mampu) melepaskan diri dari takdir yang ditentukan-Nya dan melampaui ketentuan yang telah dituliskan-Nya dalam Lauhul Mahfuzh. Dia Azza wa Jalla Maha menghendaki semua yang dilakukan oleh seluruh makhluk di alam semesta. Seandainya Dia Azza wa Jalla berkehendak menjaga mereka semua, niscaya mereka tidak akan melanggar perintah-Nya, dan seandainya Dia Azza wa Jalla menghendaki mereka semua menaati-Nya, niscaya mereka akan menaati-Nya. Allâh lah yang menciptakan semua makhluk beserta semua perbuatan mereka, menakdirkan (menetapkan) rezki dan ajal mereka. Allâh lah yang memberikan hidayah (petunjuk) kepada siapa yang dikehendaki-Nya dengan rahmat-Nya dan menyesatkan siapa yang dikehendaki-Nya dengan hikmah[3]-Nya.”[4]
DEFINISI AL-QADAR (TAKDIR ALLAH) DAN AL-QADHA’ (KETETAPAN-NYA)
Secara bahasa, al-qadar berarti akhir dan batas dari sesuatu[5], maka pengertian “menakdirkan sesuatu” adalah mengetahui kadar dan batasannya[6].
Ustadz Abdullah bin Taslim al-Buthoni, M.A
Iman kepada takdir dan ketentuan Allâh Azza wa Jalla bagi semua makhluk-Nya termasuk bagian dari prinsip dasar agama Islam yang dibawa oleh Nabi Muhammad n . Oleh karenanya, keimanan seorang hamba tidak akan menjadi benar di sisi Allâh Azza wa Jalla kecuali setelah memahami dan meyakini masalah ini dengan benar [1].
Karena iman kepada takdir Allâh Azza wa Jalla secara khusus berkaitan erat dengan tauhid rububiyah (mengesakan Allâh Subhanahu wa Ta’ala dalam perbuatan-perbuatan-Nya yang khusus bagi-Nya, seperti menciptakan, mengatur dan memberi rizki kepada semua makhluk-Nya), sekaligus berkaitan dengan tauhidul asmâ wash shifât karena menakdirkan dan menetapkan termasuk sifat kesempurnaan-Nya [2].
Imam Ibnu Qudâmah al-Maqdisi rahimahullah berkata, “Di antara sifat Allâh Subhanahu wa Ta’ala adalah Dia Maha (kuasa) berbuat apa yang dikehendaki-Nya, tidak ada sesuatu pun yang terjadi kecuali dengan kehendak-Nya dan tidak ada yang luput dari kehendak-Nya. Tidak ada sesuatu pun di alam ini yang lepas dari takdir-Nya dan semuanya terjadi dengan pengaturan-Nya. Oleh sebab itu, tidak ada seorang pun yang (mampu) melepaskan diri dari takdir yang ditentukan-Nya dan melampaui ketentuan yang telah dituliskan-Nya dalam Lauhul Mahfuzh. Dia Azza wa Jalla Maha menghendaki semua yang dilakukan oleh seluruh makhluk di alam semesta. Seandainya Dia Azza wa Jalla berkehendak menjaga mereka semua, niscaya mereka tidak akan melanggar perintah-Nya, dan seandainya Dia Azza wa Jalla menghendaki mereka semua menaati-Nya, niscaya mereka akan menaati-Nya. Allâh lah yang menciptakan semua makhluk beserta semua perbuatan mereka, menakdirkan (menetapkan) rezki dan ajal mereka. Allâh lah yang memberikan hidayah (petunjuk) kepada siapa yang dikehendaki-Nya dengan rahmat-Nya dan menyesatkan siapa yang dikehendaki-Nya dengan hikmah[3]-Nya.”[4]
DEFINISI AL-QADAR (TAKDIR ALLAH) DAN AL-QADHA’ (KETETAPAN-NYA)
Secara bahasa, al-qadar berarti akhir dan batas dari sesuatu[5], maka pengertian “menakdirkan sesuatu” adalah mengetahui kadar dan batasannya[6].
Hasil nukilan
Gjoykamitake
pada
12:16 AM
Wednesday, February 20, 2013
Kenali Tokoh Hadith
Sumber dari segala sumber hukum yang utama atau yang pokok di dalam agama Islam adalah Al-Qur'an dan As-Sunnah. Selain sebagai sumber hukum, Al-Qur'an dan As-Sunnah juga merupakan sumber ilmu pengetahuan yang universal. Isyarat sampai kepada ilmu yg mutakhir telah tercantum di dalamnya. Oleh kerananya siapa yang ingin mendalaminya, maka tidak akan ada habis-habisnya keajaibannya. Untuk mengetahui As-Sunnah atau hadith-hadith Nabi, maka salah satu dari beberapa bahagian penting yang tidak kalah menariknya untuk diketahui adalah mengetahui profil atau sejarah orang-orang yang mengumpulkan hadith, yang dengan jasa-jasa mereka kita yang hidup pada zaman sekarang ini dapat dengan mudah memperoleh sumber hukum secara lengkap dan sistematis serta dapat melaksanakan atau meneladani kehidupan Rasulullah untuk beribadah seperti yang dicontohkannya. Untuk itu pada beberapa edisi kali ini, kami sajikan secara berturut-turut Profile Sejarah Hidup Enam Tokoh Penghimpun Hadith yang paling terkenal serta Sekilas Penjelasan Tentang Kitab Hadith-nya yang masyhur. Abad ketiga Hijriah merupakan kurun waktu terbaik untuk menyusun atau menghimpun Hadith Nabi di dunia Islam. waktu itulah hidup enam penghimpun ternama Hadith Shahih yaitu: · Imam Bukhari · Imam Muslim · Imam Abu Daud · Imam Tirmidzi · Imam Nasa'i · Imam Ibn Majah
Imam Bukhari
Tokoh Islam penghimpun dan penyusun hadith itu banyak, dan yang lebih terkenal di antaranya seperti yang disebut diatas. Adapun urutan pertama yang paling terkenal diantara enam tokoh tersebut di atas adalah Amirul-Mu'minin fil-Hadith (pemimpin orang mukmin dalam hadith), suatu gelar ahli hadith tertinggi. Nama lengkapnya adalah Abu Abdullah Muhammad ibn Ismail ibn Ibrahim ibn al-Mughirah ibn Bardizbah. Abu Abdullah Muhammad ibn Ismail, terkenal kemudian sebagai Imam Bukhari, lahir di Bukhara pada 13 Syawal 194 H (21 Juli 810 M), cucu seorang Persia bernama Bardizbah. Kakeknya, Bardizbah, adalah pemeluk Majusi, agama kaumnya. Kemudian putranya, al-Mughirah, memeluk Islam di bawah bimbingan al-Yaman al Ja'fi, gubernur Bukhara. Pada masa itu Wala dinisbahkan kepadanya. Kerana itulah ia dikatakan "al-Mughirah al-Jafi." Mengenai kakeknya, Ibrahim, tidak terdapat data yang menjelaskan. Sedangkan ayahnya, Ismail, seorang ulama besar ahli hadith. Ia belajar hadith dari Hammad ibn Zayd dan Imam Malik. Riwayat hidupnya telah dipaparkan oleh Ibn Hibban dalam kitab As-Siqat, begitu juga putranya, Imam Bukhari, membuat biografinya dalam at-Tarikh al-Kabir. Ayah Bukhari disamping sebagai orang berilmu, ia juga sangat wara' (menghindari yang subhat/meragukan dan haram) dan taqwa. Diceritakan, bahawa ketika menjelang wafatnya, ia berkata: "Dalam harta yang kumiliki tidak terdapat sedikitpun wang yang haram maupun yang subhat." Dengan demikian, jelaslah bahawa Bukhari hidup dan terlahir dalam lingkungan keluarga yang berilmu, taat beragama dan wara'. Tidak hairan jika ia lahir dan mewarisi sifat-sifat mulia dari ayahnya itu. Ia dilahirkan di Bukhara setelah salat Jum'at. Tak lama setelah bayi yang baru lahr itu membuka matanya, iapun kehilangan penglihatannya. Ayahnya sangat bersedih hati. Ibunya yang saleh menagis dan selalu berdo'a ke hadapan Tuhan, memohon agar bayinya bisa melihat. Kemudian dalam tidurnya perempuan itu bermimpi didatangi Nabi Ibrahim yang berkata: "Wahai ibu, Allah telah menyembuhkan penyakit putramu dan kini ia sudah dapat melihat kembali, semua itu berkat do'amu yang tiada henti-hentinya." Ketika ia terbangun, penglihatan bayinya sudah normal. Ayahnya meninggal di waktu dia masih kecil dan meninggalkan banyak harta yang memungkinkan ia hidup dalam pertumbuhan dan perkembangan yang baik. Dia dirawat dan dididik oleh ibunya dengan tekun dan penuh perhatian. Keunggulan dan kejeniusan Bukhari sudah nampak semenjak masih kecil. Allah menganugerahkan kepadanya hati yang cerdas, pikiran yang tajam dan daya hafalan yang sangat kuat, teristimewa dalam menghafal hadith. Ketika berusia 10 tahun, ia sudah banyak menghafal hadith. Pada usia 16 tahun ia bersama ibu dan abang sulungnya mengunjungi berbagai kota suci. Kemudian ia banyak menemui para ulama dan tokoh-tokoh negerinya untuk memperoleh dan belajar hadith, bertukar pikiran dan berdiskusi dengan mereka. Dalam usia 16 tahun, ia sudah hafal kitab sunan Ibn Mubarak dan Waki, juga mengetahui pendapat-pendapat ahli ra'yi (penganut faham rasional), dasar-dasar dan mazhabnya. Rasyid ibn Ismail, abangnya yang tertua menuturkan, pernah Bukhari muda dan beberpa murid lainnya mengikuti kuliah dan ceramah cendekiawan Balkh. Tidak seperti murid lainnya, Bukhari tidak pernah membuat catatan kuliah. Ia dicela membuang waktu dengan percuma kerana tidak mencatat. Bukhari diam tidak menjawab. Pada suatu hari, kerana merasa kesal terhadap celaan yang terus-menerus itu, Bukhari meminta kawan-kawannya membawa catatan mereka. Tercenganglah mereka semua kerana Bukhari ternyata hapal di luar kepala 15.000 haddits, lengkap terinci dengan keterangan yang tidak sempat mereka catat.
Hasil nukilan
Gjoykamitake
pada
2:11 PM
Sunday, December 23, 2012
Penjelasan Status Zikir Taubat الهي لست للفردوس أهلا
Tempoh hari penulis diminta untuk menjelaskan status sebenar bagi bait-bait yang dianggap zikir dalam kalangan masyarakat Islam di negara ini bahkan di negara-negara sekitar nusantara ini. Kalimah atau bait-bait di dalamnya dinisbahkan sebagai zikir taubat dan ada juga menamakannya zikir munajat atau nama-nama lainnya yang mungkin penulis sendiri tidak tahu, wallahualam. Sahabat blog tersebut adalah akhi Anak Ulu Cheka dan turut mendapat respon dari akhi Denaihati yang turut ingin mengetahui status sebenar kesahihan bait-bait tersebut. Kedua mereka adalah blogger yang menurut saya popular dan mempunyai pengisian yang baik di dalam blog mereka, jemput ziarah ke blog mereka untuk mengambil apa yang bermanfaat.
Penulis memuji sikap kedua blogger senior ini yang mana bertanyakan status sebenar sesuatu perkara. Suatu perkara yang jarang ada pada kebanyakan ummah hari ini dimana kebanyakan dari kita lebih gemar menerima bulat-bulat dan berta'lid dengannya tanpa menyemak terlebih dahulu sumber atau dari mana datangnya sesuatu dakwaan, teori dan sebagainya. Adapun ia banyak berlaku termasuklah dalam urusan agama, seperti penggunaan hadith tanpa mengetahui statusnya, penggunaan bait-bait seperti yang akan penulis jelaskan sebentar nanti dan sebagainya. Semoga kita semua selepas ini ringan mulut dan tidak segan silu bertanya akan sumber dan status kesahihan sesebuah perkara sebelum menerimanya. InsyaAllah.
Penjelasan Status Zikir Taubat الهي لست للفردوس أهلا
Berikut bait-bait yang mahsyur yang dinisbahkan sebagai zikir taubat/munajat dan nama lain, wallahua'lam.
إِلَهِي لَسْتُ لِلْفِرْدَوْسِ أَهْلَا
وَلَا أَقوَى عَلَى النَّارِ الْجَحِيمِ
فَهَبْ لِي تَوْبَةً وَاغْفِرْ ذُنُوبِي
فَإِنَّكَ غَافِرُ الذَّنبِ الْعَظِيمِ
Wahai Tuhan ku tak layak ke Syurga-Mu
Namun Aku tidak sanggup ke neraka-Mu
Terimalah taubatku dan ampuni segala dosaku
Sesungguhnya Engkaulah pengampun dosa-dosa besar
Bait-bait di atas sebenarnya bukanlah zikir yang thabit daripada zikir Rasulullah s.a.w. Tidak ditemukan di dalam mana-mana kitab hadith sama ada khutub sittah (kitab hadith yang enam) seperti Sahih al-Bukhari, Sahih Muslim, Sunan Ibn Majah, Sunan Abu Daud, Sunan al-Tirmizi,dan Sunan an-Nasai'e mahupun kitab hadith yang lainnya seperti Al-Muwaththa' Al- Imam Malik, Musnad Imam Ahmad, Sunan ad-Darimi, Sahih Ibnu Khuzaimah, Sahih Ibnu Hibban, Mu'jam Al-Kabir, Mu'jam Al-Ausath, Mu'jam As-Saghir (at-Thabarani), Sunan ad-Daruquthni, Mustadrak Al-Hakim mahupun Sunan al-Kubra al-Bahaqi. Jika anda menyemak dan menemukan bait ini di dalam kitab di atas maka penulis sedia menerimanya dan penulisan ini mansukh dengan sendirinya.
Penulis memuji sikap kedua blogger senior ini yang mana bertanyakan status sebenar sesuatu perkara. Suatu perkara yang jarang ada pada kebanyakan ummah hari ini dimana kebanyakan dari kita lebih gemar menerima bulat-bulat dan berta'lid dengannya tanpa menyemak terlebih dahulu sumber atau dari mana datangnya sesuatu dakwaan, teori dan sebagainya. Adapun ia banyak berlaku termasuklah dalam urusan agama, seperti penggunaan hadith tanpa mengetahui statusnya, penggunaan bait-bait seperti yang akan penulis jelaskan sebentar nanti dan sebagainya. Semoga kita semua selepas ini ringan mulut dan tidak segan silu bertanya akan sumber dan status kesahihan sesebuah perkara sebelum menerimanya. InsyaAllah.
Penjelasan Status Zikir Taubat الهي لست للفردوس أهلا
Berikut bait-bait yang mahsyur yang dinisbahkan sebagai zikir taubat/munajat dan nama lain, wallahua'lam.
إِلَهِي لَسْتُ لِلْفِرْدَوْسِ أَهْلَا
وَلَا أَقوَى عَلَى النَّارِ الْجَحِيمِ
فَهَبْ لِي تَوْبَةً وَاغْفِرْ ذُنُوبِي
فَإِنَّكَ غَافِرُ الذَّنبِ الْعَظِيمِ
Wahai Tuhan ku tak layak ke Syurga-Mu
Namun Aku tidak sanggup ke neraka-Mu
Terimalah taubatku dan ampuni segala dosaku
Sesungguhnya Engkaulah pengampun dosa-dosa besar
Bait-bait di atas sebenarnya bukanlah zikir yang thabit daripada zikir Rasulullah s.a.w. Tidak ditemukan di dalam mana-mana kitab hadith sama ada khutub sittah (kitab hadith yang enam) seperti Sahih al-Bukhari, Sahih Muslim, Sunan Ibn Majah, Sunan Abu Daud, Sunan al-Tirmizi,dan Sunan an-Nasai'e mahupun kitab hadith yang lainnya seperti Al-Muwaththa' Al- Imam Malik, Musnad Imam Ahmad, Sunan ad-Darimi, Sahih Ibnu Khuzaimah, Sahih Ibnu Hibban, Mu'jam Al-Kabir, Mu'jam Al-Ausath, Mu'jam As-Saghir (at-Thabarani), Sunan ad-Daruquthni, Mustadrak Al-Hakim mahupun Sunan al-Kubra al-Bahaqi. Jika anda menyemak dan menemukan bait ini di dalam kitab di atas maka penulis sedia menerimanya dan penulisan ini mansukh dengan sendirinya.
Hasil nukilan
Gjoykamitake
pada
7:32 AM
Saturday, December 22, 2012
Apakah Allah Memiliki Wajah ?
Allah ta’ala berfirman tentang diri-Nya,
لَيْسَ كَمِثْلِهِ شَيْءٌ وَهُوَ السَّمِيعُ البَصِيرُ
“Tidak ada sesuatu pun yang serupa dengan-Nya, dan Dia Maha Mendengar lagi Maha Melihat.” (QS. Asy-Syuura: 11)
Syaikh Abdurrahman bin Naashir As-Sa’di rahimahullah mengatakan di dalam kitab tafsirnya, “[Tidak ada sesuatu pun yang serupa dengan-Nya] maknanya tidak ada yang menyerupai Allah ta’ala dan tidak ada satu makhluk pun yang mirip dengan-Nya, baik dalam Zat, nama, sifat maupun perbuatan-perbuatan-Nya. Hal ini karena seluruh nama-Nya adalah husna (paling indah), sifat-sifatNya adalah sifat kesempurnaan dan keagungan……”
Beliau melanjutkan, “[dan Dia Maha Mendengar] maknanya Dia Maha Mendengar segala macam suara dengan bahasa yang beraneka ragam dengan berbagai macam kebutuhan yang diajukan. [Dia Maha Melihat] maknanya Allah bisa melihat bekas rayapan semut hitam di dalam kegelapan malam di atas batu yang hitam……”
Beliau melanjutkan, “Ayat ini dan ayat yang semisalnya merupakan dalil Ahlu Sunnah wal Jamaah untuk menetapkan sifat-sifat Allah dan meniadakan keserupaan sifat Allah dengan sifat makhluk. Di dalam ayat ini terdapat bantahan bagi kaum musyabbihah (kelompok yang menyerupakan sifat Allah dengan sifat makhluk -ed) yaitu dalam firman-Nya:
لَيْسَ كَمِثْلِهِ شَيْءٌ
“Tidak ada sesuatu pun yang serupa dengan-Nya.”
Juga bantahan bagi kaum mu’aththilah (kelompok yang menolak penetapan sifat Allah -ed) dalam firman-Nya
وَهُوَ السَّمِيعُ البَصِيرُ
“Dia Maha Mendengar lagi Maha Melihat.”
(Taisir Karimir Rahman)
لَيْسَ كَمِثْلِهِ شَيْءٌ وَهُوَ السَّمِيعُ البَصِيرُ
“Tidak ada sesuatu pun yang serupa dengan-Nya, dan Dia Maha Mendengar lagi Maha Melihat.” (QS. Asy-Syuura: 11)
Syaikh Abdurrahman bin Naashir As-Sa’di rahimahullah mengatakan di dalam kitab tafsirnya, “[Tidak ada sesuatu pun yang serupa dengan-Nya] maknanya tidak ada yang menyerupai Allah ta’ala dan tidak ada satu makhluk pun yang mirip dengan-Nya, baik dalam Zat, nama, sifat maupun perbuatan-perbuatan-Nya. Hal ini karena seluruh nama-Nya adalah husna (paling indah), sifat-sifatNya adalah sifat kesempurnaan dan keagungan……”
Beliau melanjutkan, “[dan Dia Maha Mendengar] maknanya Dia Maha Mendengar segala macam suara dengan bahasa yang beraneka ragam dengan berbagai macam kebutuhan yang diajukan. [Dia Maha Melihat] maknanya Allah bisa melihat bekas rayapan semut hitam di dalam kegelapan malam di atas batu yang hitam……”
Beliau melanjutkan, “Ayat ini dan ayat yang semisalnya merupakan dalil Ahlu Sunnah wal Jamaah untuk menetapkan sifat-sifat Allah dan meniadakan keserupaan sifat Allah dengan sifat makhluk. Di dalam ayat ini terdapat bantahan bagi kaum musyabbihah (kelompok yang menyerupakan sifat Allah dengan sifat makhluk -ed) yaitu dalam firman-Nya:
لَيْسَ كَمِثْلِهِ شَيْءٌ
“Tidak ada sesuatu pun yang serupa dengan-Nya.”
Juga bantahan bagi kaum mu’aththilah (kelompok yang menolak penetapan sifat Allah -ed) dalam firman-Nya
وَهُوَ السَّمِيعُ البَصِيرُ
“Dia Maha Mendengar lagi Maha Melihat.”
(Taisir Karimir Rahman)
Hasil nukilan
Gjoykamitake
pada
11:36 AM
Friday, November 23, 2012
KAIDAH-KAIDAH IBADAH YANG BENAR
Oleh
Ustadz Abu Ismail Muslim Atsari
Sesungguhnya, kemuliaan seorang hamba, ialah dengan beribadah kepada Allah semata, tanpa menyekutukanNya dengan sesuatu apapun. Jika seorang hamba semakin menambah ketundukan dan peribadahannya kepada Allah, maka semakin bertambah pula kesempurnaan dan derajatnya.
Ibadah adalah hak Allah yang menjadi kewajiban hamba. Kebaikannya akan kembali kepada hamba itu sendiri. Karena sesungguhnya Allah tidak membutuhkan hambaNya.
وَمَنْ جَاهَدَ فَإِنَّمَا يُجَاهِدُ لِنَفْسِهِ ۚ إِنَّ اللَّهَ لَغَنِيٌّ عَنِ الْعَالَمِينَ
Dan Barangsiapa yang berjihad, Maka Sesungguhnya jihadnya itu adalah untuk dirinya sendiri. Sesungguhnya Allah benar-benar Maha Kaya (tidak memerlukan sesuatu) dari semesta alam (seluruh makhluk). [al 'Ankabut/29 : 6].
Imam Ibnu Katsir rahimahullah mengatakan di dalam tafsir beliau tentang ayat ini: "Yaitu, barangsiapa melakukan amal shalih, maka sesungguhnya manfaat amal shalihnya akan kembali kepada dirinya sendiri, karena sesungguhnya Allah Ta'ala Maha Cukup (yakni tidak membutuhkan) dari perbuatan-perbuatan hamba. Walaupun mereka semua berada pada hati hambaNya yang paling bertakwa, hal itu tidaklah menambah sesuatupun dalam karajaanNya"[1].
Walaupun manusia dengan akalnya dapat memahami mengenai kewajiban beribadah kepada Rabb-nya, namun dia tidak mungkin mengetahui cara beribadah kepada Allah secara benar hanya dengan melandaskan pada akal dan perasaannya. Sehingga Allah mengutus rasul-rasulNya dan menurunkan kitab-kitabNya untuk memberikan petunjukNya.
Allah berfirman:
فَإِمَّا يَأْتِيَنَّكُمْ مِنِّي هُدًى فَمَنِ اتَّبَعَ هُدَايَ فَلَا يَضِلُّ وَلَا يَشْقَىٰ
… Maka jika datang kepada kamu (manusia) petunjuk dariKu, lalu barangsiapa mengikuti petunjukKu, dia tidak akan sesat dan tidak akan celaka. [Thaha/20 : 123].
Adapun sebelum diutus rasul dan tanpa petunjuk Rasul, maka manusia itu di dalam keadaan jahiliyah. Allah Azza wa Jalla berfirman:
هُوَ الَّذِي بَعَثَ فِي الْأُمِّيِّينَ رَسُولًا مِنْهُمْ يَتْلُو عَلَيْهِمْ آيَاتِهِ وَيُزَكِّيهِمْ وَيُعَلِّمُهُمُ الْكِتَابَ وَالْحِكْمَةَ وَإِنْ كَانُوا مِنْ قَبْلُ لَفِي ضَلَالٍ مُبِينٍ
Dia-lah yang mengutus kepada kaum yang buta huruf seorang Rasul di antara mereka, yang membacakan ayat-ayat-Nya kepada mereka, mensucikan mereka dan mengajarkan mereka Kitab dan Hikmah (as Sunnah). Dan sesungguhnya mereka sebelumnya benar-benar dalam kesesatan yang nyata. [al Jumu'ah/62 : 2].
KAIDAH-KAIDAH IBADAH
Ibadah yang benar kepada Allah dibangun di atas dasar-dasar atau kaidah-kaidah yang kokoh. Ini semua dijelaskan oleh Allah di dalam kitabNya, dan oleh Nabi Shallallahu 'alaihi wa sallam di dalam Sunnahnya, serta oleh para ulama Ahlus Sunnah wal Jama'ah.
Hasil nukilan
Gjoykamitake
pada
10:57 AM
Di Mana Allah (Beberapa Syubhat (Kekeliruan) Ahl al-Bid’ah Dan Jawapan Ahl al-Sunnah Ke Atasnya)
Penulis: Mohd Hairi Nonchi
Beberapa Syubhat (Kekeliruan) Ahl al-Bid’ah Dan Jawapan Ahl al-Sunnah Ke Atasnya
Dalam rangka menolak manhaj Ahl al-Sunnah berhubung dengan penetapan (ithbat) ke atas sifat al-Istiwa’ Allah Subhanahu wa Ta’ala di atas ‘Arasy di atas langit tanpa takwil dan ta’thil, golongan Ahl al-Takwil khususnya mereka yang beraliran al-Asya’irah dan yang sefahaman dengannya telah membentuk beberapa hujah bagi menjustifikasikan penolakan tersebut.
Di sini penulis akan membawakan enam contoh daripada hujah-hujah yang dimaksudkan, disusuli dengan hujah balas pihak Ahl al-Sunnah ke atasnya bagi meluruskan semula kekeliruan-kekeliruan yang dimaksudkan. Adapun hujah atau syubhat yang dimaksudkan dan jawapan semula Ahl al-Sunnah ke atasnya adalah seperti berikut:
Syubhat # 1:
Para pentakwil dan pengingkar sifat Allah Subhanahu wa Ta’ala membawakan beberapa ucapan para tokoh Ahl al-Sunnah wa al-Jama’ah sebagai hujah bagi menolak penetapan sifat al-Istiwa’ Allah di atas ‘Arasy di atas langit, antaranya yang masyhur adalah sebagaimana ucapan al-Imam asy-Syafie rahimahullah (204H) di bawah ini:[1]
والد ليل عليه هو أنه تعالى كان ولا مكان فخلق المكان و هو على صفة الأزليه كما قبل خلقه المكان لا يجوز عليه التغيير في ذاته ولا التبديل في صفاته.
Dalil untuk itu (tiada bagi Allah itu tempat) ialah Allah itu telah ada dan tempat itu tiada. Lalu Allah mencipta tempat dan Allah masih lagi dalam keadaan sifat-Nya yang azali sebelum terciptanya tempat. Tidak boleh berlaku perubahan ke atas dzat-Nya dan tidak berlaku pertukaran ke atas sifat-Nya.
Ucapan yang hampir sama juga telah dikemukakan oleh al-Imam ‘Abd al-Qadir al-Baghdadi rahimahullah (429H) dimana beliau menulis di dalam kitabnya, al-Farqu Baina al-Firaq, ms. 256:[2]
وأجمعواعلى أنه لا يحويه مكان ولا يجري عليه زمان.
Mereka (Ahl al-Sunnah wa al-Jama’ah) telah berijmak (bersepakat) bahawa Allah tidak bertempat.
Dengan membawakan kenyataan kedua-dua tokoh di atas dan lain-lain tokoh seumpama, para pentakwil dan pengingkar sifat Allah Subhanahu wa Ta’ala merumuskan bahawa tidak diperbolehkan berkata “Allah beristiwa’ di atas ‘Arasy di atas langit” kerana ucapan seperti ini akan menimbulkan kesan keberadaan Allah Subhanahu wa Ta’ala pada suatu tempat, hal yang mustahil bagi-Nya dan mustahil pula diucapkan oleh Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam.
Beberapa Syubhat (Kekeliruan) Ahl al-Bid’ah Dan Jawapan Ahl al-Sunnah Ke Atasnya
Dalam rangka menolak manhaj Ahl al-Sunnah berhubung dengan penetapan (ithbat) ke atas sifat al-Istiwa’ Allah Subhanahu wa Ta’ala di atas ‘Arasy di atas langit tanpa takwil dan ta’thil, golongan Ahl al-Takwil khususnya mereka yang beraliran al-Asya’irah dan yang sefahaman dengannya telah membentuk beberapa hujah bagi menjustifikasikan penolakan tersebut.
Di sini penulis akan membawakan enam contoh daripada hujah-hujah yang dimaksudkan, disusuli dengan hujah balas pihak Ahl al-Sunnah ke atasnya bagi meluruskan semula kekeliruan-kekeliruan yang dimaksudkan. Adapun hujah atau syubhat yang dimaksudkan dan jawapan semula Ahl al-Sunnah ke atasnya adalah seperti berikut:
Syubhat # 1:
Para pentakwil dan pengingkar sifat Allah Subhanahu wa Ta’ala membawakan beberapa ucapan para tokoh Ahl al-Sunnah wa al-Jama’ah sebagai hujah bagi menolak penetapan sifat al-Istiwa’ Allah di atas ‘Arasy di atas langit, antaranya yang masyhur adalah sebagaimana ucapan al-Imam asy-Syafie rahimahullah (204H) di bawah ini:[1]
والد ليل عليه هو أنه تعالى كان ولا مكان فخلق المكان و هو على صفة الأزليه كما قبل خلقه المكان لا يجوز عليه التغيير في ذاته ولا التبديل في صفاته.
Dalil untuk itu (tiada bagi Allah itu tempat) ialah Allah itu telah ada dan tempat itu tiada. Lalu Allah mencipta tempat dan Allah masih lagi dalam keadaan sifat-Nya yang azali sebelum terciptanya tempat. Tidak boleh berlaku perubahan ke atas dzat-Nya dan tidak berlaku pertukaran ke atas sifat-Nya.
Ucapan yang hampir sama juga telah dikemukakan oleh al-Imam ‘Abd al-Qadir al-Baghdadi rahimahullah (429H) dimana beliau menulis di dalam kitabnya, al-Farqu Baina al-Firaq, ms. 256:[2]
وأجمعواعلى أنه لا يحويه مكان ولا يجري عليه زمان.
Mereka (Ahl al-Sunnah wa al-Jama’ah) telah berijmak (bersepakat) bahawa Allah tidak bertempat.
Dengan membawakan kenyataan kedua-dua tokoh di atas dan lain-lain tokoh seumpama, para pentakwil dan pengingkar sifat Allah Subhanahu wa Ta’ala merumuskan bahawa tidak diperbolehkan berkata “Allah beristiwa’ di atas ‘Arasy di atas langit” kerana ucapan seperti ini akan menimbulkan kesan keberadaan Allah Subhanahu wa Ta’ala pada suatu tempat, hal yang mustahil bagi-Nya dan mustahil pula diucapkan oleh Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam.
Hasil nukilan
Gjoykamitake
pada
9:36 AM
Sunday, October 7, 2012
SIKAP AHLUS SUNNAH TERHADAP MU'AWIYAH DAN PERTIKAIANNYA DENGAN ALI
Oleh
Ustadz Abu Ihsan Al-Atsari
KEUTAMAAN MU'AWIYAH BIN ABI SUFYAN RADHIYALLAHU 'ANHU
Imam Ahmad meriwayatkan di dalam Musnad-nya, dari Abdurrahman bin Abi Umairah al Azdi, dari Nabi Shallallahu 'alaihi wa sallam, bahwa beliau Shallallahu 'alaihi wa sallam pernah menyebut Mu'awiyah dan berkata: "Ya, Allah. Jadikanlah ia orang yang menuntun kepada hidayah dan berilah ia hidayah".[1]
Ishaq bin Rahuyah berkata,"Tidak ada satupun hadits yang shahih tentang keutamaan Mu'awiyah Radhiyallahu 'anhu ; (dan) an Nasaa-í juga berkata demikian."
Hadits yang paling kuat dalam masalah ini adalah hadits Abdurrahman bin Abi Umairah di atas.
Ibnu Abbas Radhiyallahu 'anhuma telah memuji Mu'awiyah Radhiyallahu 'anhu atas ilmu fiqih yang dimilikinya. Imam al Bukhari meriwayatkan di dalam Shahih-nya, dari jalur Nafi' bin Umar dari Ibnu Abi Mulaikah, bahwasanya ada yang berkata kepada Ibnu Abbas: "Mengapa Anda tidak menasihati Amirul Mukminin Mu'awiyah? Sesungguhnya dia hanya berwitir satu rakaat saja!"
"Benar," katanya,"Dia adalah seorang faqih!"[2]
Ibnu Abbas juga mengabarkan, Mu'awiyah termasuk sahabat Nabi. Imam al Bukhari meriwayatkan dari jalur Utsman bin al Aswad dari Ibnu Abi Mulaikah, ia berkata: "Mu'awiyah mengerjakan witir satu rakaat setelah Isya', sedang maula Ibnu Abbas melihatnya. Diapun melaporkannya kepada Ibnu Abbas. Beliau berkata,'Biarkan, sesungguhnya ia telah menyertai Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam'.[3]"
Ustadz Abu Ihsan Al-Atsari
KEUTAMAAN MU'AWIYAH BIN ABI SUFYAN RADHIYALLAHU 'ANHU
Imam Ahmad meriwayatkan di dalam Musnad-nya, dari Abdurrahman bin Abi Umairah al Azdi, dari Nabi Shallallahu 'alaihi wa sallam, bahwa beliau Shallallahu 'alaihi wa sallam pernah menyebut Mu'awiyah dan berkata: "Ya, Allah. Jadikanlah ia orang yang menuntun kepada hidayah dan berilah ia hidayah".[1]
Ishaq bin Rahuyah berkata,"Tidak ada satupun hadits yang shahih tentang keutamaan Mu'awiyah Radhiyallahu 'anhu ; (dan) an Nasaa-í juga berkata demikian."
Hadits yang paling kuat dalam masalah ini adalah hadits Abdurrahman bin Abi Umairah di atas.
Ibnu Abbas Radhiyallahu 'anhuma telah memuji Mu'awiyah Radhiyallahu 'anhu atas ilmu fiqih yang dimilikinya. Imam al Bukhari meriwayatkan di dalam Shahih-nya, dari jalur Nafi' bin Umar dari Ibnu Abi Mulaikah, bahwasanya ada yang berkata kepada Ibnu Abbas: "Mengapa Anda tidak menasihati Amirul Mukminin Mu'awiyah? Sesungguhnya dia hanya berwitir satu rakaat saja!"
"Benar," katanya,"Dia adalah seorang faqih!"[2]
Ibnu Abbas juga mengabarkan, Mu'awiyah termasuk sahabat Nabi. Imam al Bukhari meriwayatkan dari jalur Utsman bin al Aswad dari Ibnu Abi Mulaikah, ia berkata: "Mu'awiyah mengerjakan witir satu rakaat setelah Isya', sedang maula Ibnu Abbas melihatnya. Diapun melaporkannya kepada Ibnu Abbas. Beliau berkata,'Biarkan, sesungguhnya ia telah menyertai Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam'.[3]"
Hasil nukilan
Gjoykamitake
pada
5:24 PM
Subscribe to:
Posts (Atom)