Friday, September 16, 2011
CARA MEWUJUDKAN IBADAH
Oleh
Syaikh Abu Usamah Salim bin Id Al Hilali
عَنْ رَبِيعَةَ بْنِ كَعْبٍ الأَسْلَمِيِّ قَالَ كُنْتُ أَبِيتُ مَعَ رَسُولِ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ فَأَتَيْتُهُ بِوَضُوئِهِ وَحَاجَتِهِ فَقَالَ لِي: سَلْ. فَقُلْتُ أَسْأَلُكَ مُرَافَقَتَكَ فِي الْجَنَّةِ. قَالَ: أَوْ غَيْرَ ذَلِكَ؟ قُلْتُ: هُوَ ذَاكَ، قَالَ: فَأَعِنِّي عَلَى نَفْسِكَ بِكَثْرَةِ السُّجُودِ
Dari Rabi’ah bin Ka’ab Al Aslami Radhiyallahu 'anhu, dia mengatakan: Aku menginap di rumah Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam. Aku membantu membawakan air wudhu dan keperluan beliau, lalu beliau berkata,”Mintalah sesuatu kepadaku!” Saya menjawab,”Saya minta agar bisa bersamamu di surga!” Beliau bersabda,”Atau yang lain (dari) itu?” Aku menjawab,”Itu saja,” maka beliau bersabda,”Bantulah aku (untuk mengalahkan) nafsu (diri)mu dengan banyak bersujud.” [HR Imam Muslim].
Peribadatan kepada Allah merupakan tujuan diciptakannya seorang hamba. Lalu bagaimanakan cara mewujudkannya?
1. Meminta Tolong Kepada Allah Azza Wa Jalla.
Jika beribadah kepada Allah Azza wa Jalla merupakan tujuan dan keinginan akhir seorang hamba, maka dia akan bertawajjuh (menghadap) kepada Allah Subhanahu wa Ta'ala, agar Allah menolongnya dalam beribadah dan agar Allah memberikan hidayah kepadanya untuk mampu menunaikan hak-hak Allah Azza wa Jalla. Karenanya meminta tolong kepada Allah agar bisa mencapai ridhaNya merupakan permintaan yang paling utama. Oleh karena itu juga Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam mengajarkan kepada sahabat kesayangannya, Muadz Bin Jabbal Radhiyallahu 'anhu. Beliau bersabda,
يَا مُعَاذُ وَاللَّهِ إِنِّي لَأُحِبُّكَ فَلاَ تَنْسَ أَنْ تَقُولَ فِي دُبُرِ كُلِّ صَلاَةٍ اللَّهُمَّ أَعِنِّي عَلَى ذِكْرِكَ وَشُكْرِكَ وَحُسْنِ عِبَادَتِكَ
"Wahai Muadz! Sungguh saya suka kepadamu, maka di akhir tiap shalat janganlah engkau lupa membaca doa (artinya), Ya Allah bantulah saya untuk berdzikir kepadaMu, untuk bersyukur kepadaMu, dan untuk menjadi baik dalam beribadah kepadaMu" [1].
Ketahuilah, wahai hamba-hamba Allah! Jika engkau konsisten beribadah kepada Allah dan engkau masukkan dirimu ke dalam peribadatan kepadanya, maka Dia Azza wa Jalla akan membantumu. Jadi masuknya dirimu ke dalam pengabdian kepada Allah merupakan sebab untuk mendapatkan pertolongan dari Allah Subhanahu wa Ta'ala. Semakin sempurna peribadatan seorang hamba, maka semakin besar pula ia mendapatkan pertolongan dari Allah Azza wa Jalla.
Beribadah kepada Allah diapit oleh dua jenis pertolongan, yaitu pertolongan sebelum melakukannya, yakni untuk teguh menjalankan peribadatan terkait; dan pertolongan kedua, yakni untuk istiqamah menjalankan peribadatan terkait serta menjalankan peribadatan lainnya. Demikianlah seterusnya, selama engkau menjadi hamba Allah Azza wa Jalla.
Orang yang menghayati kedudukan ini, niscaya ia akan mendapati bahwa do’a yang diajarkan Nabi di atas merupakan do’a paling bermanfaat. Bahkan merupakan inti do’a yang diriwayatkan dari Nabi Shallallahu 'alaihi wa sallam. Itulah yang dimaksudkan Allah dalam Al Fatihah.
إِيَّاكَ نَعْبُدُ وَإِيَّاكَ نَسْتَعِينُ
"Hanya kepadaMu kami beribadah dan hanya kepadaMu kami memohon pertolongan".
2. Sabar Dalam Beribadah
Wahai sekalian umat! Orang yang tujuan akhirnya adalah Allah, ia pasti akan memiliki semangat yang tinggi. Dia kumpulkan semangatnya. Dia siapkan kemampuannya, dan ia singkirkan tuntutan hawa nafsunya, supaya ia bisa naik pada posisi tinggi di hadapan Allah Azza wa Jalla, Dzat yang dicintai dan ditaatinya. Ia juga akan memperbaiki kesalahan-kesalahan di jalan, agar tetap mapan di peringkat ini.
Ya, itu merupakan perbuatan sulit; sulitnya mengumpulkan, menyiapkan dan melepaskan diri dari segala yang menghalangi ibadah …
Namun, itu juga merupakan kenikmatan yang tidak bisa dirasakan, kecuali oleh orang yang sudah merasakan nikmat dan manisnya perbuatan itu. … Akan tetapi, itu semua tidak akan bisa didapatkan, kecuali dengan kerja keras. Jika engkau sudah mampu melewati masa-masa sulit itu, maka ia akan memberimu keharuman, sehingga tertebarlah bau wanginya. Engkaupun menjadi orang yang pantas berada pada posisi itu, dan engkau termasuk orang yang bisa memahaminya dengan pemahaman yang sebenarnya.
Allah Azza wa Jalla berfirman,
فَاعْبُدُوْهُ وَاصْطَبِرْ لِعِبَادَتِهِ
"Maka sembahlah Dia dan berteguh hatilah dalam beribadat kepadaNya".[Maryam:65].
Dan
وَأْمُرْ أَهْلَكَ بِالصَّلاَةِ وَاصْطَبِرْ عَلَيْهَا
"Dan perintahkanlah kepada keluargamu untuk mendirikan shalat dan bersabarlah kamu dalam mengerjakannya". [Thaha:132].
Perbuatan ibadah dalam Islam itu, mencakup semua kegiatan, gerakan, kesibukan, niat dan arah. Sungguh (betapa) sulit bagi seorang manusia mengarahkan semua itu hanya kepada Allah Azza wa Jalla. Sebuah kesulitan yang membutuhkan kesabaran. Dan sebuah jalan yang membutuhkan kesungguh-sungguhan, agar hati bisa terbebas dari noda-noda hawa nafsu, tipuan syethan dan keburukan jiwa.
Namun, siapapun yang menanam keikhlasan, ia pasti akan menuai keselamatan. Dan siapapun yang menanam benih ittiba’ (mengikuti Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam), ia akan memetik hasil kebenaran dalam berkata dan berbuat. Dan barangsiapa yang menjaga (syari’at) Allah, Allah Azza wa Jalla pasti akan menjaganya. Allah berfirman,
وَالَّذِينَ جَاهَدُوا فِينَا لَنَهْدِيَنَّهُمْ سُبُلَنَا وَإِنَّ اللهَ لَمَعَ الْمُحْسِنِينَ
"Dan orang-orang yang berjihad untuk (mencari keridhaan) Kami, benar-benar akan Kami tunjukkan kepada mereka jalan-jalan Kami. Dan sesungguhnya Allah benar-benar beserta orang-orang yang berbuat baik" [Al Ankabut:69]
Dan kepada posisi inilah Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam memberikan isyarat,
حُجِبَتِ النَّارُ بِالشَّهَوَاتِ وَحُجِبَتِ الْجَنَّةُ بِالْمَكَارِهِ
"Neraka itu ditutupi dengan syahwat (yang disenangi hawa nafsu) dan surga ditutupi dengan makarih (hal-hal yang tidak menyenangkan)" [2]
Jadi surga itu ditutupi dan dikelilingi dengan makarih.
Makarih adalah perintah yang dibebankan kepada mukallaf untuk melawan hawa nafsu dalam melaksanakan perintah itu; baik itu (berupa) perintah untuk mengerjakan ataupun perintah untuk meninggalkan. Seperti melaksanakan ibadah dengan benar dan menjauhi larangan dalam bentuk perkataan maupun perbuatan. Dan diungkapkan dengan kalimat makarih (sesuatu yang dibenci, tidak menyenangkan, pent.) karena berat dan sulitnya hal itu bagi pelaku. Namun akibatnya lebih manis daripada madu.
لاَ تَحْسَبَنَّ الْمَجْدَ تَمْرًا أَنْتَ آكِلُهُ
لَنْ تَبْلُغَ الْمَجْدَ حَتَّى تَلْعَقَ الصَّبْرَ
Jangan engkau sangka kemuliaan itu seperti kurma yang engkau makan
Engkau tak akan mencapai kemuliaan sebelum engkau teguk kesabaran
Dan benarlah pekataan seorang penya’ir
وَالصَّبْرُ مِثْلُ اسْمِهِ مُرٌّ مَذَاقَتُهُ
لَكِنْ عَوَاقِبُهُ أَحْلَى مِنَ الْعَسَلِ
Sabar itu seperti namanya, pahit rasanya
Akan tetapi akibatnya lebih manis daripada madu
3. Muraqabatullah (Merasa Selalu Dalam Pengawasan Allah)
Ini adalah tingkatan ihsan. Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam memberikan isyarat kepada tingkatan ihsan ini dalam hadits Jibril yang panjang, ketika Nabi Shallallahu 'alaihi wa sallam ditanya tentang ihsan, beliau bersabda:
أَنْ تَعْبُدَ اللَّهَ كَأَنَّكَ تَرَاهُ فَإِنْ لَمْ تَكُنْ تَرَاهُ فَإِنَّهُ يَرَاكَ
"(Ihsan adalah) engkau menyembah Allah seakan-akan engkau melihatNya, jika engkau tidak melihatNya, maka sesungguhnya Dia melihat engkau". [3]
Al Hafizh Ibnu Rajab Al Hambali rahimahullah mengatakan, “Ini memberikan isyarat, bahwa seorang hamba dalam beribadah kepada Allah (hendaknya) dengan cara seperti ini. Yaitu merasakan kedekatan Allah, dan bahwasanya Allah itu di depannya, seolah-olah hamba ini melihatNya. Itu semua dapat menimbulkan rasa takut kepada Allah Azza wa Jalla dan pengagungan kepadaNya, sebagaimana tersebut dalam sebuah riwayat Abu Hurairah Radhiyallahu 'anhu.
أَنْ تَخْشَى اللَّهَ كَأَنَّكَ تَرَاهُ
"Hendaknya engkau takut kepada Allah seakan-akan engkau melihatNya.”[4]
Wajib juga hukumnya, untuk ikhlas dalam beribadah, mengerahkan seluruh kemampuan dalam memperbaiki, meningkatkan dan menyempurnakan ibadah.
Sabda Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam.
أَنْ تَعْبُدَ اللَّهَ كَأَنَّكَ تَرَاهُ فَإِنْ لَمْ تَكُنْ تَرَاهُ فَإِنَّهُ يَرَاكَ
"Jika engkau tidak dapat melihatnya, maka sesungguhnya Dia melihat engkau".
Ada yang mengatakan, ungkapan itu merupakan pengungkapan alasan bagi perkara yang pertama (yaitu engkau beribadah kepada Allah seakan-akan engkau melihatNya, pent.). Sesungguhnya seorang hamba jika diperintahkan untuk muraqabatullah (merasa diawasi oleh Allah Azza wa Jalla) dalam ibadahnya dan merasakan kedekatan Allah kepada hambaNya sampai seakan-akan ia melihatNya, maka ini terkadang sulit bagi seorang hamba. Untuk mewujudkan ini semua, seorang hamba bisa memanfaatkan keyakinannya, bahwa Allah Subhanahu wa Ta'ala senantiasa melihatnya. Allah mengetahui perbuatan hamba yang dikerjakan dengan sembunyi-sembunyi dan dengan terang-terangan. Allah mengetahui hati dan zhahirnya. Tidak ada sesuatupun yang luput dari pengetahuan Allah Azza wa Jalla.
Jika ini sudah terwujud, maka akan mudah baginya untuk naik ke tingkat berikutnya, yaitu senantiasa menyadari kedekatan Allah kepada hambaNya dan ma’iyah Allah (kebersamaan ilmu Allah dengan hambaNya, pent.), sampai seakan-akan dia melihatNya. [5]
Ibnul Qayyim Al Jauziyah rahimahullah mengatakan, “Orang yang mencapai tingkatan ini, seakan bisa melihat RabbNya Azza wa Jalla di atas langit, di atas ‘ArsyNya sedang mengawasi hamba-hambaNya. Dia melihat mereka. Allah mendengar ucapan-ucapan mereka dan Allah melihat zhahir dan bathin mereka.
Seakan hamba ini mendengar Rabbnya sedang berbicara kepada Jibril Alaihissalam, lalu Jibril menyampaikan wahyu kepada hamba Allah. Allah memerintahkan dan melarang sesuai dengan keinginanNya. Allah mengatur alam ini, makhlukNya naik turun berdasarkan perintahNya.
Seakan hamba ini dapat melihat Rabbnya dalam keadaan ridha, murka, senang, benci, memberi, menahan rizki, tertawa, gembira, memuji wali-waliNya di hadapan para malaikatNya dan mencela musuh-musuhNya.
Seakan hamba ini dapat melihat Rabb dan kedua tanganNya. Satu menggenggam tujuh lapis langit, dan yang satunya lagi menggenggam tujuh lapis bumi. Allah k melipat tujuh lapis langit dengan tangan kananNya sebagaimana dilipatnya kertas-kertas buku.
Seakan hamba ini dapat melihat Rabbnya yang datang untuk memberikan pengadilan kepada hamba-hambaNya, sehingga bumi penuh dengan cahayaNya. Kemudian Allah berseru –dari atas ArsyNya- dengan suara yang dapat didengar oleh yang jauh, sebagaimana didengar oleh yang dekat,
وَعِزَّتِيْ وَجَلاَلِيْ لاَ يُجَاوِزُنِيْ الْيَوْمَ ظُلْمُ ظَالِمٍ
"Demi keperkasaan dan keagunganKu, pada hari ini tidak akan ada kezhaliman seorangpun yang luput dariKu".
Seakan hamba ini mendengar seruan Rabb kepada Adam Alaihissalam,
يَا آدَمُ قُمْ فَابْعَثْ بِعْثَ النَّارِ
"Wahai Adam, bangkitlah! Pisahkanlah golongan orang yang masuk neraka".
Begitu juga seruan Rabb kepada makhluk di Mahsyar
مَاذَآ أَجَبْتُمُ الْمُرْسَلِينَ
"Apakah jawabanmu kepada para rasul?" [Al Qashash:65]
Apakah yang kalian sembah dulu?
Singkat kata, dengan hati, seseorang dapat melihat Rabb yang diperkenalkan oleh para rasul, sebagaimana dikenalkan juga oleh kitab-kitab Allah Azza wa Jalla dan agama yang didakwahkan oleh para rasul, serta kenyataan-kenyataan yang dikabarkan para rasul. Demikianlah, ia bangkit menyaksikan semua itu dengan hatinya, laksana bangkitnya seseorang yang menyaksikan berita mutawatir. Maka orang seperti ini, keimanannya seperti orang yang terbuka matanya. Sedangkan iman orang lain hanya ikut-ikutan, laksana orang buta.”[6]
Dan nasihat Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam kepada pembantu beliau Rabi’ah bin Ka’ab As Aslami Radhiyallahu 'anhu, yang termasuk Ahli Shuffah, telah mencakup langkah-langkah mewujudkan penghambaan diri kepada Allah Azza wa Jalla.
Berikut ini adalah penjelasannya,
Pertama : Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam memerintahkan agar ia membantu beliau untuk mengalahkan nafsu (diri) Rabi’ah sendiri. Maka tidak diragukan lagi, bahwa barangsiapa yang membantu Nabi untuk mengalahkan nafsu dirinya, maka pertolongan yang pertama kali diminta untuk mengalahkan nafsu adalah pertolongan dari Allah Azza wa Jalla. Diantara do’a yang ma’tsur (dalam hal ini) ialah:
وَلاَ تَكِلْنِيْ إِلَى نَفْسِي طَرْفَةَ عَيْنٍ
"Janganlah engkau bebankan aku kepada diriku meskipun sekejap"[7].
Jadi, seorang hamba sangat membutuhkan pertolongan dari Allah k untuk mengalahkan nafsunya yang berada di sampingnya.
Hanya kepunyaan Allah sajalah jika ada mutiara kata berikut : Bila pertolongan Allah tidak diberikan pada seorang pemuda. Maka dosa pertama yang ia tanggung adalah ijtihadnya
Kedua : Sabda Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam, “Tolonglah aku untuk mengalahkan nafsu (diri)mu.” Disini terdapat penjelasan, bahwa hawa nafsu itu tabi’atnya bertolak belakang dengan usaha mencapai derajat yang tinggi di akhirat. Karenanya membutuhkan kesungguh-sungguhan dan kesabaran dalam beribadah, agar tidak tertinggal dari golongan orang-orang yang senantiasa beribadah kepada Allah.
Ketiga : Sabda Rasulullah “dengan banyak bersujud”.
Barangsiapa banyak bersujud kepada Allah, maka dia akan mendapatkan kedekatan dengan Allah Azza wa Jalla, sebagimana yang diisyaratkan dalam firman Allah Azza wa Jalla,
وَاسْجُدْ وَاقْتَرِب
"Dan sujudlah dan dekatkanlah (dirimu kepada Rabb)!" [Al Alaq:9].
Dan dari Abu Hurairah Radhiyallahu 'anhu, Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam bersabda,
أَقْرَبُ مَا يَكُونُ الْعَبْدُ مِنْ رَبِّهِ وَهُوَ سَاجِدٌ فَأَكْثِرُوا الدُّعَاءَ
"Seorang hamba paling dekat kepada Rabbnya ketika dia sujud, maka perbanyaklah do’a" [8]
Dari Abdullah bin Abbas Radhiyallahu 'anhu, Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam bersabda,
فَأَمَّا الرُّكُوعُ فَعَظِّمُوا فِيهِ الرَّبَّ عَزَّ وَجَلَّ وَأَمَّا السُّجُودُ فَاجْتَهِدُوا فِي الدُّعَاءِ فَقَمِنٌ أَنْ يُسْتَجَابَ لَكُمْ
"Adapun ruku’, maka pada waktu itu agungkanlah Rabb kalian. Sedangkan sujud, maka pada saat itu bersungguh-sungguhlah dalam berdo’a. Niscaya do’a kalian akan dipenuhi" [9]
Jadi sujud termasuk diantara saat-saat dikabulkannya do’a. Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam menunjukkan (kepada Rabi’ah Bin Ka’ah) saat-saat terkabulnya do’a. Beliau menyuruh Rabi’ah agar membiasakan diri mengetuk pintu do’a, dan beliau juga mengajari Rabi’ah cara mengetuk pintu do’a tersebut. Barangsiapa keadaannya seperti ini, maka sebentar lagi pintu ijabah akan dibukakan. Dan hanya kepada Allah kita mohon pertolongan.
[Disalin dari majalah As-Sunnah Edisi 06/Tahun VII/1424H/2003M. Penerbit Yayasan Lajnah Istiqomah Surakarta, Jl. Solo-Purwodadi Km.8 Selokaton Gondangrejo Solo 57183 Telp. 0271-761016]
_______
Footnote
[1]. Hadits shahih, sebagaimana telah saya jelaskan dalam kitab Shahih Kitabil Adzkar Wa Dha’ifuhu
[2]. Diriwayatkan Imam Bukhari 320/11 dalam Fathul Bari dan Imam Muslim 2823, dari Abu Hurairah, dan diriwayatkan oleh Imam Muslim dari Anas dengan kalimat
[3]. Diriwayatkan oleh Imam Muslim dari Umar bin Khattab dan diriwayatkan oleh Bukhari serta Muslim dari Abu Hurairah
[4] HR Muslim, pent
[5]. Iqazhul Himam Al-Muntaqa Min Jami'il 'Ulum Wal Hikam, halaman 71-72 karya saya (Syaikh Salim)
[6]. Madarikussalikin 3/153-154
[7]. Dikeluarkan oleh Imam Nasa’i dalam kitab Amalul Yaumi Wal Lailati, dan juga Ibnu Sunni no. 49 dengan sanad yang baik, sebagaimana sudah saya jelaskan dalam kitab Ujalatur Raghibil Mutamanni.
[8]. Dikeluarkan oleh Imam Muslim no. 482.
[9]. Imam Muslim no. 479
Sumber: almanhaj.or.id
Syaikh Abu Usamah Salim bin Id Al Hilali
عَنْ رَبِيعَةَ بْنِ كَعْبٍ الأَسْلَمِيِّ قَالَ كُنْتُ أَبِيتُ مَعَ رَسُولِ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ فَأَتَيْتُهُ بِوَضُوئِهِ وَحَاجَتِهِ فَقَالَ لِي: سَلْ. فَقُلْتُ أَسْأَلُكَ مُرَافَقَتَكَ فِي الْجَنَّةِ. قَالَ: أَوْ غَيْرَ ذَلِكَ؟ قُلْتُ: هُوَ ذَاكَ، قَالَ: فَأَعِنِّي عَلَى نَفْسِكَ بِكَثْرَةِ السُّجُودِ
Dari Rabi’ah bin Ka’ab Al Aslami Radhiyallahu 'anhu, dia mengatakan: Aku menginap di rumah Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam. Aku membantu membawakan air wudhu dan keperluan beliau, lalu beliau berkata,”Mintalah sesuatu kepadaku!” Saya menjawab,”Saya minta agar bisa bersamamu di surga!” Beliau bersabda,”Atau yang lain (dari) itu?” Aku menjawab,”Itu saja,” maka beliau bersabda,”Bantulah aku (untuk mengalahkan) nafsu (diri)mu dengan banyak bersujud.” [HR Imam Muslim].
Peribadatan kepada Allah merupakan tujuan diciptakannya seorang hamba. Lalu bagaimanakan cara mewujudkannya?
1. Meminta Tolong Kepada Allah Azza Wa Jalla.
Jika beribadah kepada Allah Azza wa Jalla merupakan tujuan dan keinginan akhir seorang hamba, maka dia akan bertawajjuh (menghadap) kepada Allah Subhanahu wa Ta'ala, agar Allah menolongnya dalam beribadah dan agar Allah memberikan hidayah kepadanya untuk mampu menunaikan hak-hak Allah Azza wa Jalla. Karenanya meminta tolong kepada Allah agar bisa mencapai ridhaNya merupakan permintaan yang paling utama. Oleh karena itu juga Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam mengajarkan kepada sahabat kesayangannya, Muadz Bin Jabbal Radhiyallahu 'anhu. Beliau bersabda,
يَا مُعَاذُ وَاللَّهِ إِنِّي لَأُحِبُّكَ فَلاَ تَنْسَ أَنْ تَقُولَ فِي دُبُرِ كُلِّ صَلاَةٍ اللَّهُمَّ أَعِنِّي عَلَى ذِكْرِكَ وَشُكْرِكَ وَحُسْنِ عِبَادَتِكَ
"Wahai Muadz! Sungguh saya suka kepadamu, maka di akhir tiap shalat janganlah engkau lupa membaca doa (artinya), Ya Allah bantulah saya untuk berdzikir kepadaMu, untuk bersyukur kepadaMu, dan untuk menjadi baik dalam beribadah kepadaMu" [1].
Ketahuilah, wahai hamba-hamba Allah! Jika engkau konsisten beribadah kepada Allah dan engkau masukkan dirimu ke dalam peribadatan kepadanya, maka Dia Azza wa Jalla akan membantumu. Jadi masuknya dirimu ke dalam pengabdian kepada Allah merupakan sebab untuk mendapatkan pertolongan dari Allah Subhanahu wa Ta'ala. Semakin sempurna peribadatan seorang hamba, maka semakin besar pula ia mendapatkan pertolongan dari Allah Azza wa Jalla.
Beribadah kepada Allah diapit oleh dua jenis pertolongan, yaitu pertolongan sebelum melakukannya, yakni untuk teguh menjalankan peribadatan terkait; dan pertolongan kedua, yakni untuk istiqamah menjalankan peribadatan terkait serta menjalankan peribadatan lainnya. Demikianlah seterusnya, selama engkau menjadi hamba Allah Azza wa Jalla.
Orang yang menghayati kedudukan ini, niscaya ia akan mendapati bahwa do’a yang diajarkan Nabi di atas merupakan do’a paling bermanfaat. Bahkan merupakan inti do’a yang diriwayatkan dari Nabi Shallallahu 'alaihi wa sallam. Itulah yang dimaksudkan Allah dalam Al Fatihah.
إِيَّاكَ نَعْبُدُ وَإِيَّاكَ نَسْتَعِينُ
"Hanya kepadaMu kami beribadah dan hanya kepadaMu kami memohon pertolongan".
2. Sabar Dalam Beribadah
Wahai sekalian umat! Orang yang tujuan akhirnya adalah Allah, ia pasti akan memiliki semangat yang tinggi. Dia kumpulkan semangatnya. Dia siapkan kemampuannya, dan ia singkirkan tuntutan hawa nafsunya, supaya ia bisa naik pada posisi tinggi di hadapan Allah Azza wa Jalla, Dzat yang dicintai dan ditaatinya. Ia juga akan memperbaiki kesalahan-kesalahan di jalan, agar tetap mapan di peringkat ini.
Ya, itu merupakan perbuatan sulit; sulitnya mengumpulkan, menyiapkan dan melepaskan diri dari segala yang menghalangi ibadah …
Namun, itu juga merupakan kenikmatan yang tidak bisa dirasakan, kecuali oleh orang yang sudah merasakan nikmat dan manisnya perbuatan itu. … Akan tetapi, itu semua tidak akan bisa didapatkan, kecuali dengan kerja keras. Jika engkau sudah mampu melewati masa-masa sulit itu, maka ia akan memberimu keharuman, sehingga tertebarlah bau wanginya. Engkaupun menjadi orang yang pantas berada pada posisi itu, dan engkau termasuk orang yang bisa memahaminya dengan pemahaman yang sebenarnya.
Allah Azza wa Jalla berfirman,
فَاعْبُدُوْهُ وَاصْطَبِرْ لِعِبَادَتِهِ
"Maka sembahlah Dia dan berteguh hatilah dalam beribadat kepadaNya".[Maryam:65].
Dan
وَأْمُرْ أَهْلَكَ بِالصَّلاَةِ وَاصْطَبِرْ عَلَيْهَا
"Dan perintahkanlah kepada keluargamu untuk mendirikan shalat dan bersabarlah kamu dalam mengerjakannya". [Thaha:132].
Perbuatan ibadah dalam Islam itu, mencakup semua kegiatan, gerakan, kesibukan, niat dan arah. Sungguh (betapa) sulit bagi seorang manusia mengarahkan semua itu hanya kepada Allah Azza wa Jalla. Sebuah kesulitan yang membutuhkan kesabaran. Dan sebuah jalan yang membutuhkan kesungguh-sungguhan, agar hati bisa terbebas dari noda-noda hawa nafsu, tipuan syethan dan keburukan jiwa.
Namun, siapapun yang menanam keikhlasan, ia pasti akan menuai keselamatan. Dan siapapun yang menanam benih ittiba’ (mengikuti Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam), ia akan memetik hasil kebenaran dalam berkata dan berbuat. Dan barangsiapa yang menjaga (syari’at) Allah, Allah Azza wa Jalla pasti akan menjaganya. Allah berfirman,
وَالَّذِينَ جَاهَدُوا فِينَا لَنَهْدِيَنَّهُمْ سُبُلَنَا وَإِنَّ اللهَ لَمَعَ الْمُحْسِنِينَ
"Dan orang-orang yang berjihad untuk (mencari keridhaan) Kami, benar-benar akan Kami tunjukkan kepada mereka jalan-jalan Kami. Dan sesungguhnya Allah benar-benar beserta orang-orang yang berbuat baik" [Al Ankabut:69]
Dan kepada posisi inilah Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam memberikan isyarat,
حُجِبَتِ النَّارُ بِالشَّهَوَاتِ وَحُجِبَتِ الْجَنَّةُ بِالْمَكَارِهِ
"Neraka itu ditutupi dengan syahwat (yang disenangi hawa nafsu) dan surga ditutupi dengan makarih (hal-hal yang tidak menyenangkan)" [2]
Jadi surga itu ditutupi dan dikelilingi dengan makarih.
Makarih adalah perintah yang dibebankan kepada mukallaf untuk melawan hawa nafsu dalam melaksanakan perintah itu; baik itu (berupa) perintah untuk mengerjakan ataupun perintah untuk meninggalkan. Seperti melaksanakan ibadah dengan benar dan menjauhi larangan dalam bentuk perkataan maupun perbuatan. Dan diungkapkan dengan kalimat makarih (sesuatu yang dibenci, tidak menyenangkan, pent.) karena berat dan sulitnya hal itu bagi pelaku. Namun akibatnya lebih manis daripada madu.
لاَ تَحْسَبَنَّ الْمَجْدَ تَمْرًا أَنْتَ آكِلُهُ
لَنْ تَبْلُغَ الْمَجْدَ حَتَّى تَلْعَقَ الصَّبْرَ
Jangan engkau sangka kemuliaan itu seperti kurma yang engkau makan
Engkau tak akan mencapai kemuliaan sebelum engkau teguk kesabaran
Dan benarlah pekataan seorang penya’ir
وَالصَّبْرُ مِثْلُ اسْمِهِ مُرٌّ مَذَاقَتُهُ
لَكِنْ عَوَاقِبُهُ أَحْلَى مِنَ الْعَسَلِ
Sabar itu seperti namanya, pahit rasanya
Akan tetapi akibatnya lebih manis daripada madu
3. Muraqabatullah (Merasa Selalu Dalam Pengawasan Allah)
Ini adalah tingkatan ihsan. Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam memberikan isyarat kepada tingkatan ihsan ini dalam hadits Jibril yang panjang, ketika Nabi Shallallahu 'alaihi wa sallam ditanya tentang ihsan, beliau bersabda:
أَنْ تَعْبُدَ اللَّهَ كَأَنَّكَ تَرَاهُ فَإِنْ لَمْ تَكُنْ تَرَاهُ فَإِنَّهُ يَرَاكَ
"(Ihsan adalah) engkau menyembah Allah seakan-akan engkau melihatNya, jika engkau tidak melihatNya, maka sesungguhnya Dia melihat engkau". [3]
Al Hafizh Ibnu Rajab Al Hambali rahimahullah mengatakan, “Ini memberikan isyarat, bahwa seorang hamba dalam beribadah kepada Allah (hendaknya) dengan cara seperti ini. Yaitu merasakan kedekatan Allah, dan bahwasanya Allah itu di depannya, seolah-olah hamba ini melihatNya. Itu semua dapat menimbulkan rasa takut kepada Allah Azza wa Jalla dan pengagungan kepadaNya, sebagaimana tersebut dalam sebuah riwayat Abu Hurairah Radhiyallahu 'anhu.
أَنْ تَخْشَى اللَّهَ كَأَنَّكَ تَرَاهُ
"Hendaknya engkau takut kepada Allah seakan-akan engkau melihatNya.”[4]
Wajib juga hukumnya, untuk ikhlas dalam beribadah, mengerahkan seluruh kemampuan dalam memperbaiki, meningkatkan dan menyempurnakan ibadah.
Sabda Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam.
أَنْ تَعْبُدَ اللَّهَ كَأَنَّكَ تَرَاهُ فَإِنْ لَمْ تَكُنْ تَرَاهُ فَإِنَّهُ يَرَاكَ
"Jika engkau tidak dapat melihatnya, maka sesungguhnya Dia melihat engkau".
Ada yang mengatakan, ungkapan itu merupakan pengungkapan alasan bagi perkara yang pertama (yaitu engkau beribadah kepada Allah seakan-akan engkau melihatNya, pent.). Sesungguhnya seorang hamba jika diperintahkan untuk muraqabatullah (merasa diawasi oleh Allah Azza wa Jalla) dalam ibadahnya dan merasakan kedekatan Allah kepada hambaNya sampai seakan-akan ia melihatNya, maka ini terkadang sulit bagi seorang hamba. Untuk mewujudkan ini semua, seorang hamba bisa memanfaatkan keyakinannya, bahwa Allah Subhanahu wa Ta'ala senantiasa melihatnya. Allah mengetahui perbuatan hamba yang dikerjakan dengan sembunyi-sembunyi dan dengan terang-terangan. Allah mengetahui hati dan zhahirnya. Tidak ada sesuatupun yang luput dari pengetahuan Allah Azza wa Jalla.
Jika ini sudah terwujud, maka akan mudah baginya untuk naik ke tingkat berikutnya, yaitu senantiasa menyadari kedekatan Allah kepada hambaNya dan ma’iyah Allah (kebersamaan ilmu Allah dengan hambaNya, pent.), sampai seakan-akan dia melihatNya. [5]
Ibnul Qayyim Al Jauziyah rahimahullah mengatakan, “Orang yang mencapai tingkatan ini, seakan bisa melihat RabbNya Azza wa Jalla di atas langit, di atas ‘ArsyNya sedang mengawasi hamba-hambaNya. Dia melihat mereka. Allah mendengar ucapan-ucapan mereka dan Allah melihat zhahir dan bathin mereka.
Seakan hamba ini mendengar Rabbnya sedang berbicara kepada Jibril Alaihissalam, lalu Jibril menyampaikan wahyu kepada hamba Allah. Allah memerintahkan dan melarang sesuai dengan keinginanNya. Allah mengatur alam ini, makhlukNya naik turun berdasarkan perintahNya.
Seakan hamba ini dapat melihat Rabbnya dalam keadaan ridha, murka, senang, benci, memberi, menahan rizki, tertawa, gembira, memuji wali-waliNya di hadapan para malaikatNya dan mencela musuh-musuhNya.
Seakan hamba ini dapat melihat Rabb dan kedua tanganNya. Satu menggenggam tujuh lapis langit, dan yang satunya lagi menggenggam tujuh lapis bumi. Allah k melipat tujuh lapis langit dengan tangan kananNya sebagaimana dilipatnya kertas-kertas buku.
Seakan hamba ini dapat melihat Rabbnya yang datang untuk memberikan pengadilan kepada hamba-hambaNya, sehingga bumi penuh dengan cahayaNya. Kemudian Allah berseru –dari atas ArsyNya- dengan suara yang dapat didengar oleh yang jauh, sebagaimana didengar oleh yang dekat,
وَعِزَّتِيْ وَجَلاَلِيْ لاَ يُجَاوِزُنِيْ الْيَوْمَ ظُلْمُ ظَالِمٍ
"Demi keperkasaan dan keagunganKu, pada hari ini tidak akan ada kezhaliman seorangpun yang luput dariKu".
Seakan hamba ini mendengar seruan Rabb kepada Adam Alaihissalam,
يَا آدَمُ قُمْ فَابْعَثْ بِعْثَ النَّارِ
"Wahai Adam, bangkitlah! Pisahkanlah golongan orang yang masuk neraka".
Begitu juga seruan Rabb kepada makhluk di Mahsyar
مَاذَآ أَجَبْتُمُ الْمُرْسَلِينَ
"Apakah jawabanmu kepada para rasul?" [Al Qashash:65]
Apakah yang kalian sembah dulu?
Singkat kata, dengan hati, seseorang dapat melihat Rabb yang diperkenalkan oleh para rasul, sebagaimana dikenalkan juga oleh kitab-kitab Allah Azza wa Jalla dan agama yang didakwahkan oleh para rasul, serta kenyataan-kenyataan yang dikabarkan para rasul. Demikianlah, ia bangkit menyaksikan semua itu dengan hatinya, laksana bangkitnya seseorang yang menyaksikan berita mutawatir. Maka orang seperti ini, keimanannya seperti orang yang terbuka matanya. Sedangkan iman orang lain hanya ikut-ikutan, laksana orang buta.”[6]
Dan nasihat Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam kepada pembantu beliau Rabi’ah bin Ka’ab As Aslami Radhiyallahu 'anhu, yang termasuk Ahli Shuffah, telah mencakup langkah-langkah mewujudkan penghambaan diri kepada Allah Azza wa Jalla.
Berikut ini adalah penjelasannya,
Pertama : Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam memerintahkan agar ia membantu beliau untuk mengalahkan nafsu (diri) Rabi’ah sendiri. Maka tidak diragukan lagi, bahwa barangsiapa yang membantu Nabi untuk mengalahkan nafsu dirinya, maka pertolongan yang pertama kali diminta untuk mengalahkan nafsu adalah pertolongan dari Allah Azza wa Jalla. Diantara do’a yang ma’tsur (dalam hal ini) ialah:
وَلاَ تَكِلْنِيْ إِلَى نَفْسِي طَرْفَةَ عَيْنٍ
"Janganlah engkau bebankan aku kepada diriku meskipun sekejap"[7].
Jadi, seorang hamba sangat membutuhkan pertolongan dari Allah k untuk mengalahkan nafsunya yang berada di sampingnya.
Hanya kepunyaan Allah sajalah jika ada mutiara kata berikut : Bila pertolongan Allah tidak diberikan pada seorang pemuda. Maka dosa pertama yang ia tanggung adalah ijtihadnya
Kedua : Sabda Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam, “Tolonglah aku untuk mengalahkan nafsu (diri)mu.” Disini terdapat penjelasan, bahwa hawa nafsu itu tabi’atnya bertolak belakang dengan usaha mencapai derajat yang tinggi di akhirat. Karenanya membutuhkan kesungguh-sungguhan dan kesabaran dalam beribadah, agar tidak tertinggal dari golongan orang-orang yang senantiasa beribadah kepada Allah.
Ketiga : Sabda Rasulullah “dengan banyak bersujud”.
Barangsiapa banyak bersujud kepada Allah, maka dia akan mendapatkan kedekatan dengan Allah Azza wa Jalla, sebagimana yang diisyaratkan dalam firman Allah Azza wa Jalla,
وَاسْجُدْ وَاقْتَرِب
"Dan sujudlah dan dekatkanlah (dirimu kepada Rabb)!" [Al Alaq:9].
Dan dari Abu Hurairah Radhiyallahu 'anhu, Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam bersabda,
أَقْرَبُ مَا يَكُونُ الْعَبْدُ مِنْ رَبِّهِ وَهُوَ سَاجِدٌ فَأَكْثِرُوا الدُّعَاءَ
"Seorang hamba paling dekat kepada Rabbnya ketika dia sujud, maka perbanyaklah do’a" [8]
Dari Abdullah bin Abbas Radhiyallahu 'anhu, Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam bersabda,
فَأَمَّا الرُّكُوعُ فَعَظِّمُوا فِيهِ الرَّبَّ عَزَّ وَجَلَّ وَأَمَّا السُّجُودُ فَاجْتَهِدُوا فِي الدُّعَاءِ فَقَمِنٌ أَنْ يُسْتَجَابَ لَكُمْ
"Adapun ruku’, maka pada waktu itu agungkanlah Rabb kalian. Sedangkan sujud, maka pada saat itu bersungguh-sungguhlah dalam berdo’a. Niscaya do’a kalian akan dipenuhi" [9]
Jadi sujud termasuk diantara saat-saat dikabulkannya do’a. Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam menunjukkan (kepada Rabi’ah Bin Ka’ah) saat-saat terkabulnya do’a. Beliau menyuruh Rabi’ah agar membiasakan diri mengetuk pintu do’a, dan beliau juga mengajari Rabi’ah cara mengetuk pintu do’a tersebut. Barangsiapa keadaannya seperti ini, maka sebentar lagi pintu ijabah akan dibukakan. Dan hanya kepada Allah kita mohon pertolongan.
[Disalin dari majalah As-Sunnah Edisi 06/Tahun VII/1424H/2003M. Penerbit Yayasan Lajnah Istiqomah Surakarta, Jl. Solo-Purwodadi Km.8 Selokaton Gondangrejo Solo 57183 Telp. 0271-761016]
_______
Footnote
[1]. Hadits shahih, sebagaimana telah saya jelaskan dalam kitab Shahih Kitabil Adzkar Wa Dha’ifuhu
[2]. Diriwayatkan Imam Bukhari 320/11 dalam Fathul Bari dan Imam Muslim 2823, dari Abu Hurairah, dan diriwayatkan oleh Imam Muslim dari Anas dengan kalimat
[3]. Diriwayatkan oleh Imam Muslim dari Umar bin Khattab dan diriwayatkan oleh Bukhari serta Muslim dari Abu Hurairah
[4] HR Muslim, pent
[5]. Iqazhul Himam Al-Muntaqa Min Jami'il 'Ulum Wal Hikam, halaman 71-72 karya saya (Syaikh Salim)
[6]. Madarikussalikin 3/153-154
[7]. Dikeluarkan oleh Imam Nasa’i dalam kitab Amalul Yaumi Wal Lailati, dan juga Ibnu Sunni no. 49 dengan sanad yang baik, sebagaimana sudah saya jelaskan dalam kitab Ujalatur Raghibil Mutamanni.
[8]. Dikeluarkan oleh Imam Muslim no. 482.
[9]. Imam Muslim no. 479
Sumber: almanhaj.or.id
Hasil nukilan
Gjoykamitake
pada
3:36 PM
Subscribe to:
Post Comments (Atom)
No comments:
Post a Comment